BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Berdiri Muhammadiyah
Faktor
faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah secara garis besar dibagi
menjadi 2 faktor penyebab yaitu :
1.
Faktor subyektif
Faktor
subyektif yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan
faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hsil pendalaman
K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Quran baik dalam hal gemar membaca maupun
menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Ia telaah sedemikian teliti,
dipertanyakan juga kalau ada sebab sebab yang menjadikan suatu ayat diturunkan,
dipertanyakan yang musti harus dilakukan. Sikap K.H Ahmad Dahlan ini
sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul
dalam surat An Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan
tadabbur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa
yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap seperti ini pula yang dilakukan K.H.
Ahmad Dahlan ketika menatap ayat Ali Imran ayat 104 : “Dan hendaklah ada
diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang orang yang beruntung”.
Memahami seruan ayat diatas K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun
sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang
tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar
ditengah tengah masyarakat luas.
2.
Faktor Obyektif
Ada
beberapa sebab yang bersifat obyektif yang melatar belakangi berdirinya
Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu
faktor penyebab yang muncul ditengah tengah kehidupan masyarakat Islam
Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu
faktor faktor yang ada di luar tubuh masyarakat islam Indonesia
Faktor Obyektif yang
bersifat internal
a.
Ketidakmurnian agama islam akibat tidak
dijadikannya Al Qur’an dan As Sunah sebagai satu satunya rujukan oleh sebagian
besar umat Islam Indonesia.
Sebelum
masuknya agama islam di Indonesia, masyarakat Indonesia memeluk agama Hindu dan
Budha dengan segala amalan dan tradisi yang ada didalamnya. Sementara itu agama
Islam sampai di nusantara setelah melewati perjalanan yang panjang. Oleh karena
itu tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain
menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang
semacam itu dapat dimaklumi kalau dalam kenyataan dan prakteknya umat Islam di
Indonesia pada saat itu memperlihatkan hal hal yang tidak sesuai dengan prinsip
ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah agama Islam mengajarkan pada umatnya
untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari penyakit syirik maupun kufarat
dan bid’ah. Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang masih percaya juga
terhadap benda benda keramat, semacam keris, tombak, batu aji, masih percaya
terhadap hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan sebagainya.
Mereka sering pergi ke kubur kubur yang dianggap keramat, seperti mendatangi
kuburnya para wali atau orang yang dianggap wali, ulama besar, dan sebagainya
dengan tujuan untuk meminta berkah kepada yang terkubur. Mereka percaya
terhadap ramalan gaib, seperti ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib,
ramalan dukun dan ramalan gaib dan ramalan gaib lainnya.
Dalam
kehidupan beraqidah, khususnya ibadah madlah agama Islam memberikan tuntunan
secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. bertitik tolak pada
prinsip ini dalam ilmu ushul fikih dirumuskan satu kaidah yang menyatakan bahwa
dalam masalah ibadah mahdliyah semua amaln terlarang, kecuali hal hal yang
telah diajarkan oleh Nabi. Sedang dalam urusan keduniaan semua hal
diperbolehkan, kecuali yang jelas dinyatakan terlarang. Rasulullah sendiri
telah menyatakan tegas bahwa “semua rekaan rekaan (bid’ah) dalam ibadah
mahdliyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk neraka”. Namun pada
kenyataannya masih banyak sekali orang islam yang dalam praktek ubudiyahnya
bercampur aduk antara apa ang diajarkan agama islam dengan berbagai amalan yang
berasal dari kepercayaan lain. Sebagai contoh dapat dilihat masih adanya
tradisi sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh roh halus, selamatan saat kematian, semacam menujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan ayat tertentu
seperti bacaan tahlil, surat yasin, ayat kursi, dan sebagainya yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang diselamatinya. Amalan seperti ini bertentangan
dengan prinsip Islam sebagaimana yang
ditegaskan dalam al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164,
an-Najm ayat 39.
Demikian
pula ditengah tengah masyarakat Islam masih dijumpai adanya kepercayaan bahwa
agar supaya do’a diterima Allah, maka caranya harus menggunakan perantara yang
akan menghubungkan dirinya dengan Allah, seperti bertawashul kepada Syekh Abdul
Kadir Jaelani, kepada Nabi, Malaikat, para Wali dan sebagainya. Paham serupa
ini tidak ada dalam ajaran Islam (lihat Az Zumar ayat 3), bahkan sebaliknya justru
Tuhan dalam konsep Islam sangat dekat sekali kepada hamba-Nya (al-Baqarah ayat
186, al-Hadid ayat 4, al-Waqi’ah ayat 85).
b.
Lembaga pendidikan ang dimilki umat
Islam nelum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah
Allah di atas bumi”.
Pondok
pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik uamt Islam di
Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang khas di Indonesia.
Dilihat dari sejarahnya sistem pesantren ini sebenarnya sudah berkembang sejak
zaman Hindu-Budha. Sistem ini sejak zaman itu dikenal dengan nama ‘Ashram’ yang
di dalamnya para santri (berubah menjadi santri) tinggal bersama sama dengan
‘Guru’ atau ‘Resi’. Sistem ini terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman
Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan umat Islam di Indonesia telah
banyak memberikan sumbangannya bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa
penjajahan Belanda hingga penjajahan Belanda. Lewat lembaga pendidikan ini
telah diperoleh kader kader umat bangsa , di mana pondok pesantren ini tercatat
sebagai lembaga yang mempelopori menanamkan semangat nasionalisme dan patriot
bangsa kepada para santrinya.
Namun
dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti,
maka akan terasa bahwa muatan isi yang adadalam sistem pondok pesantren saat
ini kurang memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam sistem
pondok pesantren saat itu hanya mengajarkan ‘mata pelajaran agama’ dalam arti
sempit, yaitu terbatas pada bidang fiqih Agama sebagaimana yang diisyaratkan
dalam surat at Taubah ayat 122 yang meliputi mata pelajaran mata pelajaran bahasa
Arab, terjemah dan tafsir, hadis, tasawuf /akhlak, aqaid, ilmu mantiq(logika)
dan Ilmu Falaq. Sedang mata pelajaran yang sangkut paut dengan urusan keduniaan
(muamalah duniawiyah) yang sering disebut ilmu pengetahuan umum semacam
sejarah, ilmu bumi, biologi, fisika, kimia dan sebagainya belum diperkenalkan
di lembaga pendidikan pondok pesantren. Padahal justru hanya lewat ilmu
pengetahuan ini seseorang akan mampu melaksanakan tugas tugas keduniaan, salah
satu dari dua tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”
Sesungguhnya,
bahwa lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga
pembibitan kader penerus cita cita Islam dan siap mengemban amanat Allah
sebagai “Khalifah Allah” di muka bumi, yang tugas utamanya adalah mengupayakan
terjadinya perdamaian sesama umat manusia, serta mengupayakan terciptanya
kesejahteraan dan kemakmuran hidup umat manusia. Mengingat fungsi pendiikan
Islam seperti ini maka apa yang ada dalam lembaga lembaga pendidikan pondok
pesantren pada saat itu dirasakan oleh K.H. Ahmad Dahlan masih ada satu
kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem
pondok pesantren hanya membekali kepada para santri ilmu pengetahuan agama
semata mata, maka untuk penyempurnaannyamereka harus diberikan juga ilmu ilmu
pengetahuan umum sehingga dengan demikian akan lahirnya dari lembaga pendidikanini
manusia yang “taqwa kepada Allah”, “Cerdas lagi Terampil”, yang dalam
terminologi Al-Quran disebut sebagai “Ulul Albab”. (al-Mujadilah : 11, dan ali
Imran : 191)
Faktor Obyektif yang
bersifat eksternal
a.
Semakin meningkatnya gerakan
kristenisasi ditengah tengah masyarakat Indonesia
Sebagaimana
halnya bangsa bangsa penjajah Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk ke
negeri Indonesia juga mengibarkan panji panji “Tiga G”, yaitu “Glory”, “Gold”, “Gospel”. Ketiga G ini
sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri jajahannya.
Yang pertama motif politik (Glory =
menang); sesuatu motif untuk penjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai
daerah kekuasaanya. Kedua motif ekonomi (emas, kekayaan); suatu motif untuk
mengeksploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga
motif untuk menyebarluaskan ajaran kristiani kepada anak negeri jajahan, atau
motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau yang bukan menjadi
Kristen. Orang Spanyol dan Portugis memang sengaja datang ke pelosok dunia ini
antara lain memerangi Islam dan menggantikannyadengan agama Kristen. Khusus
dalam menggambarkan kedatangan bangsa Belanda ke negeri Indonesia yang tidak
lepas dari ketiga motif di atas, khususnya motif mengkristenkan penduduk negeri
B.G. Schweitz menyatakan bahwa “... oleh karena penduduk pribumi, yang mengenal
eratnya hubungan agama dengan pemerintahan setelah masuk kristen akan menjadi
warga warga loyal lahir batin bagi kompeni, sebutan yang diberikan kepada
administrasi Belanda itu".
Dalam
pelaksanaan mewujudkan ketiga motif tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
menggarap penduduk bumi putra lewat dua langkah besar, yaitu : pertama apa yang
disebut dengan program ‘Asosiasi’ dan kedua adalah program ‘kristenisasi’.
Program asosiasi adalah program pembudayaan, dalam bentuk mengembangkan budaya
barat sedemikian rupa hingga orang Indonesia mau menerima kebuyaan baratsebagai
kebuyaan mereka walaupun tanpa mengesampingkan budaya sendiri. Program ini
disebut juga dengan program Westernisasi. Sedang yang dimaksud dengan
Kristenisasi yaitu program yang ditujukan untuk mengubah agama penduduk, yang
Islam ataupun yang bukan bukan Islam menjadi Kristen. Pada abad ke 19, banyak
orang Belanda, baik di negerinya sendiri, maupun di Hindia Belanda sangat
berharap untuk menghilangkan pengaruh Islam denan proses Kristenisasisecara
cepat atas sebagian besar orang Indonesia. Tegasnya politik kolonialis Belanda
mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama kristen di Indonesia. Dengan
program yang kedua ini akan dapat nilai ganda, yaitu disamping bernilai
keagamaan dalam arti telah menyelamatkan “domba domba yang hilang”, juga
bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan
pemerintahan (Hindia Belanda), setelah penduduk bumi putera masuk Kristen akan
menjadi warga loyal atau setia lahir dan
batin kepada pemeritah. Menteri jajahan, J.T.Cremer mengatakan pada
tahun 1898 bahwa kegiatan “Misi Kristen hendaklah dimajukan dengan kuat, oleh
sebab kegiatan ini membawa civilisasi, kemakmuran, ketenangan dan ketertiban”.
Pelaksanaan program Kristiani seperti di atas semakin meningkat pada waktu pada
waktu pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang
bernama A.W.F Idenburg (1909-1916) dengan melancarkan program yang lebih
populer dengan sebutan “Kristening Politik”. Konstitusi Belanda memperkenankan
misi misi Kristen, baik Roma katolik maupun Protestan untuk beroperasi di
Indonesia, dan pekerjaan misi di daerah koloni dibantu oleh dana dana negara.
Dengan adanya program ini sejarah mencatat setelah tahun 1909 kelompok kelompok
zending kristen sangat cepat memperluas kegiatan mereka di daerah kepulauan
Indonesia.
b.
Penetrasi Bangsa bangsa Eropa, terutama bangsa
Belanda ke Indonesia
Kedatangan
bangsa bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, Khususnya dalam aspek
kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap
pengaruh Islam di Indonesia. Lewat pendidikan model barat yang mereka
kembangkan, dengan ciri cirinya yang menonjolkan sifat intelektualistik,
individualistik, elitis, diskriminatik, serta sama sekali tidak memperhatikan
dasar moral keagamaan, maka lahirlah suatu generasi baru bangsa Indonesia yang
terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berpikir
mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J Benda menyatakan bahwa dalam
analisanya terakhir maka pendidikan barat adalah alat yang pasti untuk
mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang
diharapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda tandanya segera
terlihat, antara lain seperti munculnya sikap acuh tak acuh terhadap agama Islam,
kalau tidak malah melecehkan. Mereka mengangap selama mereka masih menampakkan
keislamannya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang
yang berkemajuan dan sebagainya. Dan lebih dari itu semua dalam menyikapi
kehidupan umat islam di Indonesia, Belanda benar benar mengikuti petunjuk dari
Snouck Horgronje. Ia merekomendasi kepada Hindia Belanda bahwa sebenarnya Islam
dapat dibagi menjadi dua, yaitu Islam politik dan Islam religius. Terhadap
Islam religius dia menyarankan agar pemerintah bersikap toleran. Bahkan sikap
seperti itu dinyatakan sebagai conditio sine qua non, syarat yang tidak boleh
tidak harus diwujudkan demi menjaga ketenangan dan stabilitas, seperti
memberikan toleransi kepada umat Islam untuk mengerjakan ibadah sembahyang,
menunaikan ibadah haji dan sebagainya. Sementara terhadap Islam politik
pemerintah tidak menganjurkan toleransi sama sekali, bahkan sebaliknya harus
ditekan semaksimal mungkin. Tegasnya bagi pemerintah Hindia Belanda dalam
menyikapi umat Islam di Indonesia harus membedakan islam ke dalam dua kategori,
musuh Belanda bukan Islam sebagai agama, akan teetapi yang menjadi musuh
Belanda adalah Islam sebagai doktrin politik.
c.
Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam
Dunia Islam
Gerakan
Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan sesunguhnya merupakan salah
satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan yang dimulai sejak tokoh
pertamanya, yaitu Profesor Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad
bin Abdul Wahab, Sayid Jamaludin al-Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla dan
sebagainya. Terutama sekali pengaruh tersebut berasal dari Muhammad Abduh lewat
tafsirnya yang terkenal, yaitu Al-Manar suntingan dari Rasyid Ridla serta majalah Al-Urwatul Wustqa
Dalam
hal K.H. Ahmad Dahlan de3ngan Muhammadiyahnya terkena pengaruh dari ide ide
Muhammad Abduh, Azyumardi Azra menulis bahwa sesungguhnya pengaruh tersebut
bukannya dari keseluruhan ide idenya. Sebab dalam masalah teologi(aqidah)
Muhammadiyah justru lebih dekatkepada sistem teologi Asy’ariyah dari pada
teologinya Abduh yang lebih dekat pada sistem teologi Mu’tazilah. DR. Arbiyah
Lubis dalam disertasinya membuktikan, bahwa sepanjang persoalan teologi,
Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali. Lebih jauh, setelah
membandingkan Kalam Abduh dan
Muhammadiyah, Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di antara keduanya.
Jika teologi Abduh bersifat rasional – dan karena itu lebih dekat kepadaa
sistem teologi Mu’tazilah, sebaliknya teologi Muhammadiyah adalah teologi
“tradisional” – dan oleh sebab itu ia lebih dekat kepada sistem teologi
Asy’ariyah
Lewat
telaah K.H. Ahmad Dahlan terhadap berbagai karya para tokoh pembaharu di atas
serta kitab kitab lainnya yang seluruhnya menghembuskan angin segar untuk
memunirkan ajaran Islam dari berbagai ajaran sesat dengan kembali pada Al Quran dan sunah Rasul beliau mendapatkan
inspirasi yang kuat untuk membangun sebuah pergerakan Islam yang berwibawa,
teratur, tertib, dan penuh disiplin guna dijadikan sarana untuk dakwah Islam
amar makruf nahi munkar ditengah tengah masyarakat Indonesia.
Dari
sekian faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, Prof. Mukti Ali
dalam bukunya “Interpretasi Amalan
Muhammadiyah” menyimpulkan adanya empat faktor yang cukup menonjol, yaitu :
1) Ketidakbersihan
dan campur aduknya kehidupan Agama Islam di Indonesia
2) Ketidakefisiennya
lembaga lembaga pendidikan agama Islam
3) Aktifitas
misi misi Khatolik dan Protestan
4) Sikap
acuh tak acuh, malah kadang kadang sikap merendahkan dari golongan intelegensia
terhadap Islam
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta,
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama
Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan . Beliau adalah pegawai
kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang.
Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-
amalan yang
bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu
beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai
Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan
dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.
Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam
waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada
laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum
pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran
untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang
telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912
hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan
rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH
Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu
sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di
kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini menjadi
Muktamar 5 tahunan.
Peristiwa penting dalam
sejarah Muhammadiyah antara lain :
Tahun 1868 – 1910
1868
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan
nama Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar
Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar
di Yogyakarta.
Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian
membuat barang kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga
memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing
Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut.
Belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga
pelajaran lainnya didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H.
Muhammad Nur.
Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih
banyak pada kitab-kitab Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari
madzhab Syafii dalam ilmu fiqh, dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.
1883-88
Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama.
Di tanah suci ia belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada
Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan
Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga
belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan
guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi
dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai
Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran
baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.
1888
Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia
membelanjakan sebagian dari modal dagang sebesar f 500 (lima ratus
gulden) yang diberi ayahnya, untuk membeli buku.
1889
Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian
dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.
1896
Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai
dengan kebiasan yang berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang
paling besar Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.
1898
Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta
untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di
Kauman. Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan
itu berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam
dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga
garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah
arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai Penghulu
H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan
mencari orang yang melakukan itu.
1900-1910
·
Panitia Zakat pertama.
·
Panitia kurban pertama.
·
Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal.
·
Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.
1903
Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali
memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji
pertama. Ia belajar fiqh kepada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan
Syekh Sa’id Babusyel. Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘I, ilmu falaq pada
Kyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat pada Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama
bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai
masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan
para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh
Ahmad Khatib, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan
Kyai Fakih dari Maskumambang.
1909
Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo.
Selanjutnya, ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam
kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta
1910
Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair,
organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Arab.
Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan
anggota Budi Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan
mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis.
Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam
maupun ilmu pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8
orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x
6 m, di ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal proses belajar
mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitarnya,
para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk
mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan
meminta mereka masuk kembali.
Tahun 1911 - 1920
1 Desember
1911
Sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah
itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat
62 orang siswa yang belajar di sekolah itu.
1912
Mas Mansur berada di Mesir. Belajar di Perguruan
Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang
gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme
dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media
massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca
tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya.
18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330H Persyarikatan Muhammadiyah
didirikan. Sembilan orang pengurus inti yang pertama adalah Ketua: Ahmad
Dahlan, Sekretaris: Abdullah Sirat, Anggota: Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi,
Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.
20 Desember, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan
nama Al Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari
cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awamu alal birri Ta’ruf bima kanu wal-Fajri,
Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
1913
·
Pendirian sekolah di Karangkajen.
·
Tiga orang wanita dari Kauman masuk sekolah umum Neutraal Meisjes School di Ngupasan.
·
Algemeene Vergadering II di Yogyakarta.
1914
Dibentuk organisasi remaja putri Sopo Tresno.
Kegiatannya menyantuni anak yatim piatu wanita untuk membantu kelompok pemuda
yang bergerak dalam bidang pertolongan kesengsaraan umum.
1914
·
Diterbitkan Sworo Muhammadijah dalam bahasa Jawa dan Melayu memakai
huruf Jawa dan latin.
·
Algemeene Vergadering III di Yogyakarta.
1915
·
Pendirian sekolah di Lempuyangan.
·
Algemeene Vergadering IV di Yogyakarta.
1916
·
Pendirian sekolah di Pasar Gede (Kotagede).
·
Menerbitkan Suwara Muhammadiyah yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar.
·
Algemeene Vergadering V di Yogyakarta.
1917
·
19 Mei/27 Rajab 1335. Berdirinya Aisyiyah sebagai
perluasan aktivitas para wanita Muhammadiyah.
·
Sampai tahun ini tercatat ada 4 buah sekolah
Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu umum.
·
Algemeene Vergadering VI di Yogyakarta.
1916-1920
K.H. A. Dahlan sering mengadakan tabligh di Surabaya
yaitu di Gang Peneleh. Dalam pengajian itu H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno dan
Roeslan Abdoelgani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam
dari Kyai H. A. Dahlan
19…
·
Pendirian sekolah di Suronatan
1918
·
Pendirian sekolah calon guru agama bagi sekolah Ongko
Loro (Volkschool). Sekolah ini bernama Al-Qismul Arqa, pelaksanaannya di rumah
Ahmad Dahlan.
·
Algemeene Vergadering VII di Yogyakarta.
1919
·
Jasa Fakhruddin dalam mengembangkan SI sungguh besar.
Berkat jasa-jasanya itu, dia diangkat sebagai Commisaris SI.
1919
·
Pendirian Hoogeschool Muhammadijah (sekolah lanjutan).
·
Somodiirdjo
berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja
putra-putri Standard School Muhammadiyah. Perkumpulan itu diberi nama Siswa
Praja (SP). Lima bulan kemudian diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan
perempuan yaitu Siswa Praja Wanita yang ketuanya Siti Wasilah. Siswa Praja
Wanita kemudian menjadi cikal bakal Nasyiatul Aisyiyah (NA). Sebelum menjadi NA
di tahun 1931, Siswa Praja Wanita adalah bagian dari kegiatan Aisyiyah.
·
Algemeene Vergadering VIII di Yogyakarta.
1920
·
Dibentuk gerakan kepanduan yaitu Padvinders
Muhammadiyah. Kemudian atas usul Hajid nama pandu itu diganti menjadi Hizbul
Wathon.
·
Fakhruddin diangkat sebagai Penningmeester (Bendahara)
SI. Jabatan itu dipegangnya hingga tahun 1923.
·
Sekolah yang berada di Kauman tidak mampu lagi
menampung murid sehingga sebagian murid dipindahkan ke Suronatan. Sekolah di
Kauman dipergunakan untuk murid perempuan dan dikenal sebagai Sekolah Pawiyatan
Muhammadiyah.
·
Pembentukan organisasi Siswa Praja sebagai wadah
kegiatan ekstra kurikuler bagi seluruh siswa sekolah Muhammadiyah. Pembentukan
ini atas inisatif Sumodirdjo, kepala sekolah Muhammadiyah Suronatan.
·
Algemeene Vergadering IX Muhammadiyah di Yogyakarta.
·
Pengadaan kelas khusus di Sekolah Angka 2 Suronatan.
Kelas khusus ini dimaksudkan untuk siswa Sekolah Angka 2 pemerintah ataupun
partikelir yang belum menerima pelajaran agama Islam di sekolah asalnya.
·
Terbentuknya kelompok-kelompok pengajian remaja putri
dan putra maupun orang dewasa di sekitar Kauman dan tempat lain dalam Residensi
Yogyakarta.
·
Pengadaan kursus agama Islam secara cuma-cuma di
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah Kauman.
·
Penggunaan metode hisab berdasarkan data astronomis
untuk menentukan 1 Syawal. Metode ini meninggalkan cara sebelumnya yaitu metode
aboge dan melihat hilal.
·
Pendirian Musholla Aisyiyah untuk kegiatan kaum
wanita, khususnya di sekitar Kauman, untuk melakukan salat berjamaah dan
membicarakan masalah keagamaan.
·
Pencetakan dan penerbitan selebaran tentang agama
Islam untuk disebarkan secara cuma-cuma. Sedang penerbitan buku tentang agama
Islam masih harus dibeli.
Tahun 1921 - 1930
1921
·
Terbentuk cabang baru di luar residensi Yogyakarta
yaitu di Blora (27 November), Surabaya (27 November), dan Kepanjen (21
Desember).
·
7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda (2
September 1921).
·
Pendirian sekolah guru Muhammadiyah yang sederajad
dengan Kweekschool milik pemerintah. Nama sekolah itu Pondok Muhammadiyah.
·
Sejak tahun ini, jasa besar Fakhruddin adalah
keberhasilannya dalam merintis Majalah Soeara Moehammadijah untuk dijadikan
sebagai majalah resminya Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah naungan Bagian
Pustaka. Selain itu, dia juga berjasa dalam merintis pendirian Percetakan
Persatuan sebagai percetakan milik Muhammadiyah. Melalui percetakan itulah
kemudian publikasi gerakan Muhammadiyah dalam bentuk majalah, berita tahunan,
almanak dan buku-buku diterbitkan dan disebarluaskan ke daerah-daerah.
·
Fakhruddin pergi ke tanah suci Makkah. Ada dua hal
yang dikerjakannya, yaitu melaksanakan ibadah haji dan menjalankan tugas yang
diberikan Hoofdbesttur Muhammadiyah untuk menyelidiki sistem perjalanan jamaah
haji Indonesia guna diperbaiki. Missi itu dijalankan karena kondisi sistem
perjalanan jamaah haji Indonesia yang berlaku saat itu sangat jelek dan
merugikan umat Islam Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia
berkesempatan menghadap Raja Syarif Husein untuk membicarakan perbaikan sistem
perjalanan jamaah haji Indonesia dan sekaligus memperkenalkan gerakan
Muhammadiyah. Bahkan ia juga berperan besar dalam perintisan pembentukan
Persaoedaraan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI).
·
Algemeene Vergadering X di Yogyakarta.
1922
·
12 April. Dibentuk Bagian Aisyiyah atau Muhammadiyah
Istri yang bertanggung jawab dalam kegiatan khusus kaum wanita.
·
Jaavergadering XI Muhammadiyah di Yogyakarta.
·
Pada bulan Oktober, Ahmad Dahlan memimpin delegasi
Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan
oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan
ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan
golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati)
terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan
Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan
(tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab
empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan
tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya,
“Muhammadiyah berusaha/bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan
terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama
dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis.
Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab
tafsir”.
·
Kegelisahan pikiran Sutan Mansur yang selalu
menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan
aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke
Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk
bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan
Nurul Islam di Pekalongan bersama para pedagang dari Maninjau yang telah masuk
Muhammadiyah. Ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu
semata dengan mengetahui dan menguasai seluk-beluk hukum Islam secara detail
sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk
mengamalkannya. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah
menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya
pada fakir miskin.
·
Pendirian sekolah dasar yaitu Sekolah Angka 1 dengan
nama HIS Met de Qur’an.
·
Nama besar Fakhruddin ternyata tercatat di berbagai
peristiwa besar di negeri ini. Ketika diadakan Konggres al-Islam Hindia I di
Cirebon tahun 1922, dia diangkat menjadi Commite Pengusaha Pendiri Majlis
Al-Islam Hindia.
1923
·
23 Februari /7 Rajab 1340 K.H. Ahmad Dahlan meninggal
dunia.
·
Perkoempoelan Tahoenan XII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·
Kweekschool Muhammadijah dipecah menjadi Mu’allimin
dan Mu’allimat.
·
Perkoempoelan Tahoenan (kemudian menjadi Congres)
Muhammadiyah di Jogjakarta memilih K.H. Ibrahim sebagai Ketua Pengurus Besar.
Beliau menjabat sampai Congress ke-23 di Jogjakarta tahun 1934. K.H. Ibrahim
berhasil mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
·
Pendirian rumah sakit pertama di Yogyakarta kemudian
diikuti pendirian rumah sakit di Bandung, Sepanjang, Surabaya, Ujungpandang
(Makassar), Semarang, dan Banjarmasin.
1924
·
K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan
membiayai sekolah untuk anak-anak miskin.
·
Berdirinya Panti Asuhan pertama.
·
Kongres XIII Muhammadiyah di Yogyakarta.
1925
·
K.H. Ibrahim juga mengadakan khitanan massal. Di
samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan
putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar
disebarluaskan ke luar Jawa
·
Percetakan Persatuan mulai dapat beroperasi.
·
Rapat Besar Tahunan XIV di Yogyakarta.
·
Berdirinya rumah miskin pertama.
·
Fakhruddin menggerakkan pawai ummat Islam untuk
memprotes kebijakan residen Yogyakarta yang terlalu menganakemaskan misi dan
zending Kristen. Efeknya, ummat Islam sadar akan jatidirinya sebagai golongan
yang mayoritas.
1925
·
Terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan
orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925. Sutan Mansur diutus
Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai
tumbuh dan bergeliat di Minangkabau.
1926
·
Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,
·
Haji Soedjak membentuk Bagian Penolong Haji.
·
Berangkatnya Mas Mansur dan H.O.S. Tjokroaminoto ke
Arab sebagai utusan Hindia
·
Kiprah politik Fakhruddin melalui SI hanya dapat
bertahan sampai tahun 1926, karena adanya kemelut di kalangan anggota SI yang
kemudian mengeluarkan peraturan disiplin partai, yaitu pelarangan rangkap
keanggotaan bagi anggota SI. Berkaitan dengan peraturan tersebut, Fakhruddin
memilih untuk tetap di Muhammadiyah. Fakhruddin juga dikenal sebagai seorang
demonstran yang cukup terkenal. Bersama-sama dengan Suryopranoto (yang dikenal
dengan sebutan stakings koning atau raja pemogokan), dia pernah menggerakkan
demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak, kehormatan, dan upah yang
wajar. Oleh karenanya, ia pernah dituntut di pengadilan dengan dikenai denda
300 Gulden.
·
Fakhruddin juga dipilih oleh Konggres al-Islam Hindia
dan Commite Chilafat sebagai utusan untuk datang ke Konggres Chilafat di Mesir.
Oleh karena Konggres Chilafat tersebut ditunda, dia tidak jadi berangkat.
·
Terbentuknya Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah
(GKPM) di Malang dan Garut.
·
Antara 1926-1929 Muhammadiyah mulai dikenal luas di
luar pulau Jawa.
1927
·
Sutan Mansur bersama Fakhruddin melakukan tabligh dan
mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh.
·
Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan
1928
·
Fakhruddin meninggal dalam usia muda, sekitar 39
tahun, tanggal 28 Februari 1929.
·
Muhammadiyah mengirim putra-putri lulusan
sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin, Mu‘allimat, Tabligh School,
Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan
‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
·
Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Jogjakarta yaitu
pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My,
yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di
bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad
Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau.
·
Sutan Mansur berada di barisan depan dalam menentang
upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru
agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari
Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan
kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya
dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama
juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa
dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di
waktu menjelang maghrib.
1929
·
Kongres Muhammadiyah ke-18 di Surakarta.
·
Sutan Mansur berhasil mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.
1930
·
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (14-26 Maret
1930). Kongres ini memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil HB
Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
·
Berdirinya Muhammadiyah cabang Merauke.
Tahun 1931 - 1940
1931
·
Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul
Muhammadiyah sampai 1944. Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah
al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang.
·
Kongres Muhammadiyah ke-20 di Jogjakarta.
Dalam kongres ini diputuskan Siswa Praja Wanita menjadi Nasyiatul Aisyiyah.
1932
·
Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada
tahun memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk
pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di
kemudian hari dinamakan Adil
·
2 Mei/26 Dzulhijjah 1350. Berdirinya
Pemuda Muhammadiyah.
·
Sampai tahun ini Muhammadiyah sudah
memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS),
dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid
tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah
Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
1932
·
Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat
menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik,
dan sekolah-sekolah Protestan.
1933
·
Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang
(Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim).
Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.
1934
·
Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
memilih K.H. Hisyam sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
1935
·
Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin
memilih kembali K.H. Hisyam.
1936
·
Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia
(Jakarta) K.H. Hisyam masih dipilih.
1937
·
Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah hasil keputusan Congres ke-26 di Jogjakarta (sampai tahun 1943).
·
Mas Mansur banyak menghasilkan
tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaruannya dituangkannya dalam
media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata
santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat.
·
Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang
pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan
menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab.
1937
·
Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur
majalah Kawan Kita di Surabaya.
·
Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi
ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama
(NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr.
Sukiman Wiryosanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di
Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat
diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Namun kekejaman pemerintah Jepang
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam
empar serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan
kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
·
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas
Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang
memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda
(NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya.
Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur
meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
·
K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia
ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya
perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946.
·
K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI).
1938
·
Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu,
Sutan Mansur menjadi penasehat Agama Islam bagi Bung Karno.
·
Bung Karno menjadi guru sekolah rendah
Muhammadiyah di Bengkulu (Adams, 1966;193).
1939
·
Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan.
·
Penolong Kesengsaraan Oemat menjadi bagian
dari Aisyiyah.
Tahun 1941 - 1950
1941
·
Pertemuan antar cabang se-Jawa sebagai upaya
penjembatanan berlangsungnya kongres darurat tahun 1946 di Yogyakarta.
1942
·
Congres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto batal.
1943
·
Jepang memberikan status hukum pada Muhammadiyah serta
cabang-cabangnya di Jawa.
1944
·
Pertemuan cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa memilih
Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua.
·
Ki Bagus termasuk seorang tokoh yang memiliki
kecenderungan kuat untuk melembagakan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam
menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga
intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di
Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah
kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden
commisse).
1944
·
Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah
kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan
oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat
yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam
untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931
·
Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan
tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan ummat
Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai
penghormatan kepada Dewa Matahari.
·
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Ki Bagus
Hadikusumo sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
1945
·
Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo menjadi
anggota PPKI.
·
K.H. Faqih Usman menjadi anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
·
K.H. Faqih Usman juga ikut andil dalam pendirian
Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar
Ummat Islam di Yogyakarta.
·
Sudirman, seorang dari kalangan rakyat biasa yang
pernah menjadi kepala pasukan gerakan kepanduan Muhammadiyah yaitu Hizbul
Wathan (HW), diangkat menjadi Panglima Besar angkatan bersenjata RI yang baru
saja merdeka.
1946
·
Kongres darurat Muhammadiyah (perundingan silaturrahmi
cabang/ranting seluruh Jawa dan Madura).
1947
·
Pembentukan Angkatan Perang Sabil (APS) bermarkas di
Mesjid Taqwa, Kampung Suronatan. Sebagai Ketua adalah Hadjid, , Wakil Ketua: A.
Badawi, dan penasehat: Ki Bagus Hadikusumo.
·
1947-1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan
Mansur diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional
Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat
Mayor Jenderal Tituler.
1950
·
Sutan Mansur diminta menjadi Penasehat TNI AD,
berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia
tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh
sebagai pemuka Muhammadiyah.
·
Majelis Aisyiyah diganti menjadi Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah
·
21-26 Desember Kongres XXXI/Muktamar I berlangsung di
kota kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta. Muktamar ini mendapat sambutan luar
biasa dari tokoh-tokoh Muhammadiyah karena selama 10 tahun mereka hampir tidak
pernah bertemu di forum resmi yang bersifat nasional. Hadir dalam Muktamar itu
83 cabang dan 97 ranting. Beberapa keputusan penting dari Muktamar ini adalah:
·
Mendorong dan bekerjasama dengan pemerintah untuk
memperbaiki kerusakan akhlak.
·
Bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kesehatan rakyat.
·
Membentuk kapal haji Muhammadiyah.
·
Menyediakan studiefonds untuk membiayai para
pelajar yang sekolah di luar negeri.
·
Mendirikan universitas Muhammadiyah.
1950
·
Mengajukan usul kepada Badan Kongres Muslimin
Indonesia dan pemerintah supaya mengadakan kongres Umat Islam se dunia dan
persyarikatan blok-blok Islam.
·
Mendesak pemerintah Indonesia supaya mengambil harta
wakaf yang dirampas Jepang yang masih dipakai oleh pemerintah.
·
Menghormati organisasi lain yang bukan Islam selama
tidak merugikan dan bersedia bekerjasama.
·
Menghormati dan bekerja sama dengan organisasi Islam,
saling mendekati antara organisasi Islam yang satu dengan lainnya agar tidak
terjadi salah paham yang dapat merugikan perjuangan pokok Islam.
·
Anggota Muhammadiyah yang menjhadi anggota partai
politik yang bukan Islam supaya dibiarkan jika menguntungkan cita-cita Islam
dan Muhammadiyah seta diuasahakan saling pengertian agar tetap membawakan
aspirasi Muhammadiyah. Apabila merugikan cita-cita Islam, anggota tersebut
akan ditarik.
·
Muhammadiyah, baik sebagai organisasi maupun
perorangan diperkenankan menjadi anggota DPR.
Tahun 1951 – 1960
1951
Agustus Sidang Tanwir I mengeluarkan reolusi yang
intinya meminta Pemerintah Indonesia mengembalikan calon jemaah haji yang gagal
berangkat dan masih berada di Jakarta, ketempat maisng-masing dengan biaya
ditanggung oleh pemerintah dan mengganti kerugian yang dialami oleh calon haji,
seta meminta pemerintah membentuk suatu komisi guna menyelidiki segala sesuatu
yang tidak beres dalam kasus itu. Sidang Tanwir itu juga berhasil merumuskan
konsepsi tentang Majelis Ekonomi.
1951
Selain itu dibentuk panitia kecil untuk merancang UU
Perkawinan. Melalui Masyumi Muhammadiyah meminta supaya memperjuangkan agar UU
Perkawinan itu tidak diajukan ke DPR sebelum adanya pemilihan umum atau bahklan
kalau mungkin digagalkan. Sikap Muhammadiyah seperti itu menimbulkan bermacam-macam
reaksi balik.
10 Desember. Dibangun kembali Madrasah Muallimin
Muhammadiyah. Gedung Mu’allimin sebelum hancur pada masa clash II pernah
digunakan sebagai markas gerilya melawan Belanda.
1952
K.H. Faqih Usman dipercaya kembali sebagai Menteri
Agama pada masa kabinet Wilopo (3 April l952-1 Agustus 1953). Fenomena
terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat
menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU.
Sutan Mansur diminta Presiden Soekarno untuk menjadi
penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi
ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi
penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
Sutan Mansur diangkat menjadi wakil ketua Syura
Masyumi Pusat.
1953
·
Telah dibentuk dan dipulihkan kembali 322 cabang dan,
1.612 ranting dengan jumlah anggota 69.554.
·
Muktamar XXXII di Purwokerto. Untuk pertama kali,
timbang terima jabatan dilaksanakan secara tertulis sebagai bentuk kesadaran pentingnya
tertib organisasi. Sebelumnya cukup secara lisan.
·
7 Juli 1953 Surat dari Presiden Sukarno yang isinya
antara lain pengakuannya akan betapa besar sumbangan Muhammadiyah bagi
kehidupan rohani bangsa, kenegaraan, dan masyarakat Indonesia.
1953
Beliau pun mengakui sudah cukup lama mengenal
Muhammadiyah dari dalam dan mendoalan Muhammadiyah senantiasa mendapat taufik
dan hidayah agar tetap dapat menyumbangkan tenaga dan fikirannya bagi
pembangunan negara.
Majelis Hikmah dibentuk guna memperhatikan dan
mempelajari hal ihwal Muhammadiyah yang berkaitan soal politik. Tugas utamanya
menghimpun keseimbangan politik mengenai agama dan umat Islam pada umumnya
serta Muhammadiyah sendiri. Selain itu digariskan program pendidikan politik
bagi warga Muhammadiyah.
1954
11-14 April. Sidang Majelis Tanwir mengambil keputusan
bahwa dasar dan pemilihan umum adalah kemenagan Islam, keutuhan Masyumi,
kemaslahatan Muhammadiyah, menyetujui perinsip-prisnsip rencana peraturan
pencalonan anggota DPR dan konstituante yang disusun oleh DPP Masyumi dengan
amandemen-amandemen yang diserahkan kepada PB Muhammadiyah.
Pengaruh Muhammadiyah sampai di Penang
1955
Sutan Mansur terpilih sebagai anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante
berdiri sampai dibubarkan oleh Soekarno.
1956
Mukatamar XXXIII Muhammadiyah di Palembang berhasil
menelurkan khittah Palembang.
1957
24-26 Agustus. Sidang Majelis Tanwir Muhammadiyah di
Yogyakarta mengambil keputusan: pertama, menugaskan untuk menggerakkan
aparatnya dengan cara-cara yang sesuai bidangnya masing-masing dengan
berpedoman pada khittah Muhammadiyah sera mengindahkan saran dan
sambutan-sambutan yang diberikan dalam sidang Tanwir; kedua, menugasi HAMKA dan
Bustami Ibrahim untuk menulis risalah khusus guna menghadapi paham ateis;
ketiga, mengajak para ulama, pemimpin Islam dan cendekiawan muslim agar
memberikan pendapat mereka tentang cara-cara memelihara umat mengatasi bahaya
ateisme.
Terbentuknya Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah
(IKPSM) di Solo.
1958
Pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia) di Padang, Sutan Mansur berada di tengah-tengah mereka
karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno.
Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, K.H. Faqih Usman
juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Menjelang
meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Sumatera Barat, bersama Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk
mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat. Ia berusaha menemui
rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI, seperti Muhammad
Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan
persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
Kahar Muzakkar, putra Sulawesi Selatan yang pernah
dididik di lingkungan Muhammadiyah melakukan resistensi terhadap pemerintah
pusat RI dengan membentuk gerakan DI/TII.
Pengaruh Muhammadiyah sampai Singapura.
1959
Fakih Usman menerbitkan majalah Panji Masyarakat
(Panjimas) bersama-sama Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.
1959
18-23 November. Muktamar XXXIV Muhammadiyah di
Yogyakarta memilih M. Junus Anies sebagai Ketua Pimpinan Pusat periode
1959-1962. Muktamar ini menetapkan langkah ke depan tahun 1959-1962 “yang
meliputi bidang kepemimpinan, dakwah, pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan,
wakaf, keputrian, kepemudaan, perekonomian, keagamaan, taman pustaka, dan
bidang-bidang lain yang dipandang perlu”.
1960
24-28 Juli. Muktamar II Pemuda Muhammadiyah di
Yogyakarta memutuskan terbentuknya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai
organisasi resmi pelajar Muhammadiyah.
Tahun 1961 - 1970
1961
Atas jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, Pemerintah RI
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (SK Presiden no. 657 tahun 1961).
Dasar-dasar penetapan itu ialah: 1. KHA. Dahlan telah mempelopori kebangkitan
ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat; 2. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah
banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan
dasar iman dan Islam; 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori
amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; 4. Dengan organisasinya,
Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita
Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum
pria.
1961
·
16 Juli. Pembentukan Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM).
·
25-27 November. Sidang Tanwir di Yogyakarta menerima
rencana Garis Perjuangan Muhammadiyah dari Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, intinya
menghendaki agar Muhammadiyah memperluas bidang perjuangannya, tidak hanya
menitikberatkan dalam bidang sosial, tetapi juga meliputi bidang-bidang lain
yang menjadi alat untuk memperjuangkan tegaknya Agama Islam.
1962
21-25 Muktamar XXXV Muhammadiyah di Jakarta. Terpilih
sebagai Ketua PP adalah Ahmad Badawi. Pada resepsi penutupan turut memberi
sambutan adalah Presiden Sukarno sendiri dengan sambutan berjudul “Makin Lama
Makin Cinta” dan Dr. Roeslan Abdoelgani dengan sambutan berjudul “Palu Godam
terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, Muhammadiyah sebagai Gelombang Pemukul
Kembali terhadap Kolonialisme dan Imperialisme”.
Muktamar juga melahirkan rumusan Kepribadian
Muhammadiyah. Kerja digarap oleh suatu tim dipimpin oleh KH Faqih Usman.
Diadakan Kursus Kader Pimpinan Muhammadiyah seluruh
Indonesia utnuk menggairahkan kembali gerak perjuangan Muhammadiyah.
Ada perkembangan baru dalam penyebarluasan pengaruh
Muhammadiyah. Surat kabar Utusan Melayu mengabarkan bahwa di Kuala Lumpur telah
berdiri pusat Pergerakan Muhammadiyah yang berujuan sebagai pusat penyiaran dan
pendidikan Islam seTanah Melayu. Meskipun secara organisatoris eksistensinya
berada di luar persyarikatan tetapi anggaran dasarnya hampir sama dengan
Anggaran Dasar Muhammadiyah.
1962
Selama masa kepemimpinan Ahmad Badawi di perkenalkan
metode KOKAM dalam administrasi. Tercatat jumlah anggota Muhammadiyah sebanyak
185.119, ranting 2.300, cabang 712, sedangkan daerah-daerah mulai dari Aceh
sampai Nusa Tenggara tercatat 36 perwakilan daerah. Setelah Irian Barat kembali
ke pangkuan RI mulai terlihat pengaruh Muhammadiyah di Fakfak, Kotabaru, Sorong
Besar, Sorong Raja Empat, dan Manokwari yang dimotori oleh Ibrahim Bauw Radja
Rumbeti serta pejabat daerah dan pegawai negeri yang menjadi anggota
Muhammadiyah.
Dikeluarkan dokumen “Kebijaksanan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1962-1965 dan 1965-1968” yang memberi gambaran tentang
interaksi Muhammadiyah di dalam percaturan politik nasional. Kebijakan tersebut
lebih merupakan kebijakan politik Muhammadiyah dalam menetapkan kebijakan
untuk beradaptasi dan berinteraksi terhadap persoalan-persoalan politik yang
timbul.
1963
·
Nasyiatul ‘Aisyiyah diberi status otonom lepas dari
‘Aisyiyah.
·
Ahmad Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi
Presiden di bidang agama.
1964
Berbagai gerakan dan aksi perjuangan yang dilakukan
K.H. Fakhruddin adalah dalam rangka memperbaiki nasib dan kondisi umat serta
bangsa Indonesia dari lumpur kebodohan, kehinaan dan ketertindasan di tangan
penjajahan kolonial Belanda. Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan, Pemerintah
RI memberinya penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan
keputusan Presiden RI no. 162/1964.
·
14 Maret/29 Syawal 1384. Berdirinya Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM)(Fathoni, 101).
1964
Penangkapan dan penahanan HAMKA hingga 1966, Hamka
dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Dipenjara
beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya terbesarnya.
1965
·
Munas I Nasyiatul ‘Aisyiyah. Hadir di sana perwakilan
dari 33 daerah dan 166 cabang.
·
Muktamar XXXVI Muhammadiyah di Bandung.
·
16 Agustus, Badan Koordinasi Amal; Muslimin terbentuk.
Muhammadiyah merupakan nsalah satu organisasi pendukung utama di antara 16
organisasi yang tergabung dalam badan itu.
1966
Sukarno mengatakan dalam biografinya yang ditulis
Cindy Adams, “Yang senantiasa menjadi keinginanku ialah agar peti matiku
diselubungi dengan panji Islam Muhammadiyah”
15 Agustus, Syukuran pembebasan tahanan politik Islam
di Mesjid Al Azhar. Acara dipimpin Prof. Dr. Hamka. Sekeluar dari penjara,
Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia,
anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan
Nasional, Indonesia.
1968
·
Muktamar XXXVII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·
Ahmad Badawi diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung.
·
Faqih Usman bersama Hasan Basri (mantan Ketua Majelis
Ulama Indonesia)dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru (dikenal dengan
Nota KH. Faqih Usman), isinya permintaan agar Pemerintah Orde Baru
merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang
Tahun 1971 - 2009
1971
·
Muktamar XXXVIII Muhammadiyah di Ujung Pandang.
1974
·
Muktamar XXXIX Muhammadiyah di Padang.
1978
·
Muktamar XL Muhammadiyah di Surabaya.
1985
·
Muktamar XLI Muhammadiyah di Surakarta.
1989
K.H. A.R. Fakhruddin menyampaikan surat kepada Paus
Yohanes Paulus II dalam kunjungannya di Indonesia. Surat itu adalah kritikan
yang disampaikannya secara halus dan sejuk. Dalam surat itu, ia mengungkapkan
bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Namun, ada hal yang
mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik banyak menggunakan
kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang miskin agar mau masuk ke agama
Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah
sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, dengan ajakan agar menjadi umat
kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Pak AR mengungkapkan
bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif.
1990
Muktamar XLII Muhammadiyah di Yogyakarta. Suksesi
keperesidenan RI menjadi agenda di Muktamar Yogyakarta.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran
Dasar pertama sampai ke-14, istilah yang digunakan -istilah mana semakna dengan
istilah misi- adalah istilah maksud, kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima,
yang menggunakan istilah hajat. Istilah misi kita jumpai pada tulisan para
tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP
Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang Misi
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.
1995
·
Muktamar XLIII Muhammadiyah di Banda Aceh.
·
Terpilihnya Prof DR HM Amien Rais MA sebagai Ketua
Umum PP Muhammadiyah.
·
Wilayah kerja Majelis Tarjih tidak saja di bidang
fikih, namun juga pengembangan pemikiran Islam. Karena itu, majelis ini sejak
Muktamar Aceh berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam (MTPPI).
1998
·
Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum
menggantikan Prof. DR. HM Amien Rais MA yang meletakkan jabatan karena harus
memimpin Partai Amanah Nasional, sebagai lanjutan dari amanat reformasi.
2000
·
Muktamar XLIV Muhammadiyah di Jakarta, terpilihnya
Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum
2002
TANWIR Muhammadiyah di Denpasar, 24-27 Januari,
menyepakati perlunya Muhammadiyah menyiapkan kader terbaiknya sebagai pemimpin
nasional (Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
Sidang Tanwir membahas Khittah Muhammadiyah dalam
berbagai persoalan, termasuk rekomendasi Muhammadiyah bagi kemajuan bangsa dan
negara. Masalah lainnya, adalah bahasan tentang Bank Persyarikatan, di mana
akan diputuskan apakah manajemen perbankan diselenggarakan secara syariah atau
secara konfesional.
2002
Masalah politik nasional dibahas pada Sidang Pleno VII
yang dipimpin A. Watik Pratiknya. Tampil di sini, Mendiknas Malik Fadjar, ahli
hukum tata negara Prof Dr. Ismail Suny, dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin. Amien Rais akan berbicara tentang Pencerahan dan Visi Indonesia ke
Depan, pada sidang pleno III yang dipimpin Bambang Sudibyo. Sejumlah pembicara
tenar lainnya, seperti Nurcholis Madjid, Jakob Oetama, dan Taufik Abdullah juga
hadir. Mereka membahas tema “Masalah Nasional dan Agenda Pencerahan bangsa”
2003
Persyarikatan Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir di
Makassar 26-29 Juni 2003. Sidang Tanwir kali ini merupakan yang terakhir
sebelum pelaksanaan Pemilu 2004.
2005
·
Muktamar Muhammadiyah di Malang
·
Terpilihnya Prof DR Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum
PP Muhammadiyah
·
Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min
al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad).
2006
PP Muhammadiyah mengeluarkan SK No.
149/2006 tentang Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha, yang
antara lain berisi tentang bentuk relasi Muhammadiyah dengan gerakan Islam
lain dan juga partai politik. Muhammadiyah berhak dan memiliki keabsahan untuk
bebas dari segala campur-tangan, pengaruh, dan kepentingan fihak manapun yang
dapat mengganggu keutuhan dan kelangsungan gerakan dakwah Muhammadiyah.
2007
Sidang
Tanwir Muhammadiyah25-29 April 2007 di Yogyakarta. Merupakan Sidang Tanwir
pertama setelah Muktamar ke-45 Muhammadiyah tanggal 3-8 Juli 2005 di Malang.
Tanwir 2007 Yogyakarta mengangkat tema: “Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan
Bangsa”. Fokus pembahasan dalam Tanwir diarahkan pada upaya pencerahan,
revitalisasi, konsolidasi terhadap tubuh Persyarikatan, sesuai problematika
yang dihadapi Persyarikatan selama hampir dua tahun mengoperasionalkan
keputusan Muktamar ke-45. Tanwir 2007 juga membahas upaya peningkatan peran
kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan, yang harus dilakukan oleh Persyarikatan,
sesuai komitmen yang telah dicanangkan dalam “Pernyatan Pikiran Muhammaiyah
Jelang Satu Abad”.
Tanwir 2007 juga menekankan pentingnya Muhammadiyah
kembali menggiatkan sektor ekonomi, agar Muhammadiyah kembali diperhitungkan
sebagai kekuatan ekonomi. Mengembalikan Muhammadiyah pada masa-masa awal
berdirinya, dimana kelompok mayoritas anggotanya merupakan pengusaha. Salah
satu poin dari rekomendasi Tanwir ini adalah meminta kepada pemerintah untuk
memihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
2009
Sidang Tanwir tahun 2009, di kota Bandar Lampung.
Mmerupakan Tanwir kedua pada periode ini, dan Tanwir jelang Muktamar ke-46 di
Yogyakarta pertengahan tahun 2010. Sidang Tanwir 2009 memiliki tujuan
antara lain:
Dihasilkannya
keputusan untuk meningkatkan peran Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Dakwah
Amar Makruf Nahi Munkar dalam membangun kembali visi dan karakter bangsa, di
tengah pergulatan bangsa-bangsa lain yang semakin maju.
Sidang Tanwir 2009 dilaksanakan
menjelang Pemilu 2009 dimana suasana politik Indonesia menghangat.
2009
Muhammadiyah memberikan rekomendasi
terkait Pemilu 2009 antara lain: 1). Mendesak partai
politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai
ajang perebutan kursi kekuasaan belaka yang menjurus pada pragmatisme dan
menghalalkan segala cara. Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan
anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam
menjalankan amanat rakyat, mengurus negara/pemerintahan dengan benar, menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai
kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan, serta tidak
menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya
2). Muhammadiyah menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk memilih
pemimpin nasional pada Pemilu 2009, yang:
1. Memiliki
visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang
kepentingan partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni dan lainnya;
2. Berani
mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup
rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial
bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara;
3. Mampu
menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan
luar negeri, serta mampu mewujudkan good governance termasuk melakukan
pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu;
4.
Melepaskan jabatan di partai politik apapun dan berkonsentrasi dalam memimpin
bangsa dan negara.
2.2 Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan
persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang
melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha
dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang
menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah.
Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau
memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.
1. Muhammadiyah
adalah gerakan Islam
2. Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3. Muhammadiyah
adalah gerakan tajdid
A.
Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa
Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit
dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah
yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang
faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor
perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap
mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran,
ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya
Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari
hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad
Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya
tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam
pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di
atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena
diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena
itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk
merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan
Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan,
kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha
untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah
hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret,
dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai
rahmatan lil’alamin.
B. Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah
Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan
dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap
melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah
diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya
Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat
ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104.
Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah
atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar
ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan
Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan
membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat
orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti
asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain
merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan
niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah
Islamiyah.
C. Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan
Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah
sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat
menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan
Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan
menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat
gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid
yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan
nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti
syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat
merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah
sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari
berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya
Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam
kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan,
cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat
fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat
Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam
pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam
pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah
satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat
dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
2.3 Keyakinan dan Cita Cita Hidup
Muhammadiyah
Muhammadiyah
adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan
bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan
fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Muhammdiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya,
sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi
penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi
dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
ü Al-Qur'an:
Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
ü Sunnah
Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh
Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran
Islam.
Muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
Ø 'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan
khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
Ø Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan
Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
Ø Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
Ø Muamalah
Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini
sebagai ibadah kepada Allah SWT.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya yang menjadi tujuan Muhammadiyah memang merupakan cita-cita
luhur yang mungkin tidak akan terwujud secara ideal, tetapi sebagai
suatu perjuangan gerakan Islam hal itu harus terus diusahakan sehingga
setidak-tidaknya mendekati pencapaian masyarakat yang diidam-idamkan itu.
Secara bertahap, terus menerus, dan tersistem sebenarya kehidupan umat Islam
khususnya Muhammadiyah dalam rentang satu abad perjalananya telah berusaha
menampilkan diri sebagai masyarakat Islam yang diinginkan, sehingga jamaah
Muhammadiyah secara keseluruhan sampai batas tertentu merupkan wujud nyata dari
masyarakat Islam kendati masih jauh dari ideal sebagaimana idealisme masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Tugas utama Muhammadiyah ialah tidak kenal
berhenti dalam berusaha untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, baik dalam kehidupan masyarakat Muhammadiyah maupun umat
Islam dan masyarakat luas pada umumnya, sehingga pada setiap tahapan perkembangan
dicapai kondisi yang semakin lebih baik dalam menuju terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah dalam mencapai tujuan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melakukan perjuangan melalui
usaha yang diwujudkan ke dalam program, amal usaha, dan kegiatan. Dalam
menjalankan usahanya itu Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menjalankan
misi dakwah dan tajdid senantiasa dilandasai, dijiwai, dan diarahkan oleh
ajaran Islam yang antara lain menyuruh mengajak kepada kebaikan, mengajak
kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, menunaikan risalah Tuhan, dan
berjihad di jalan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar