Minggu, 27 November 2011

Muhammadiyah

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Berdiri Muhammadiyah
Faktor faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah secara garis besar dibagi menjadi 2 faktor penyebab yaitu :
1.      Faktor subyektif
Faktor subyektif yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hsil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Quran baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Ia telaah sedemikian teliti, dipertanyakan juga kalau ada sebab sebab yang menjadikan suatu ayat diturunkan, dipertanyakan yang musti harus dilakukan. Sikap K.H Ahmad Dahlan ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam surat An Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan tadabbur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap seperti ini pula yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan ketika menatap ayat Ali Imran ayat 104 : “Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang orang yang beruntung”. Memahami seruan ayat diatas K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar ditengah tengah masyarakat luas.
2.      Faktor Obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat obyektif yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor penyebab yang muncul ditengah tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor faktor yang ada di luar tubuh masyarakat islam Indonesia
Faktor Obyektif yang bersifat internal
a.       Ketidakmurnian agama islam akibat tidak dijadikannya Al Qur’an dan As Sunah sebagai satu satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
Sebelum masuknya agama islam di Indonesia, masyarakat Indonesia memeluk agama Hindu dan Budha dengan segala amalan dan tradisi yang ada didalamnya. Sementara itu agama Islam sampai di nusantara setelah melewati perjalanan yang panjang. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain menempel secara tidak sengaja ke tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau dalam kenyataan dan prakteknya umat Islam di Indonesia pada saat itu memperlihatkan hal hal yang tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari penyakit syirik maupun kufarat dan bid’ah. Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang masih percaya juga terhadap benda benda keramat, semacam keris, tombak, batu aji, masih percaya terhadap hari baik dan hari buruk, bulan baik dan bulan buruk dan sebagainya. Mereka sering pergi ke kubur kubur yang dianggap keramat, seperti mendatangi kuburnya para wali atau orang yang dianggap wali, ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan untuk meminta berkah kepada yang terkubur. Mereka percaya terhadap ramalan gaib, seperti ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib, ramalan dukun dan ramalan gaib dan ramalan gaib lainnya.
Dalam kehidupan beraqidah, khususnya ibadah madlah agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. bertitik tolak pada prinsip ini dalam ilmu ushul fikih dirumuskan satu kaidah yang menyatakan bahwa dalam masalah ibadah mahdliyah semua amaln terlarang, kecuali hal hal yang telah diajarkan oleh Nabi. Sedang dalam urusan keduniaan semua hal diperbolehkan, kecuali yang jelas dinyatakan terlarang. Rasulullah sendiri telah menyatakan tegas bahwa “semua rekaan rekaan (bid’ah) dalam ibadah mahdliyah adalah sesat, dan semua yang sesat akan masuk neraka”. Namun pada kenyataannya masih banyak sekali orang islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur aduk antara apa ang diajarkan agama islam dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain. Sebagai contoh dapat dilihat masih adanya tradisi sesaji yang ditujukan kepada para arwah, kepada roh roh halus,  selamatan saat kematian, semacam menujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dengan dibacakan ayat tertentu seperti bacaan tahlil, surat yasin, ayat kursi, dan sebagainya yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang diselamatinya. Amalan seperti ini bertentangan dengan  prinsip Islam sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Fatihah ayat 5, al-Baqarah ayat 286, al-An’am ayat 164, an-Najm ayat 39.
Demikian pula ditengah tengah masyarakat Islam masih dijumpai adanya kepercayaan bahwa agar supaya do’a diterima Allah, maka caranya harus menggunakan perantara yang akan menghubungkan dirinya dengan Allah, seperti bertawashul kepada Syekh Abdul Kadir Jaelani, kepada Nabi, Malaikat, para Wali dan sebagainya. Paham serupa ini tidak ada dalam ajaran Islam (lihat Az Zumar ayat 3), bahkan sebaliknya justru Tuhan dalam konsep Islam sangat dekat sekali kepada hamba-Nya (al-Baqarah ayat 186, al-Hadid ayat 4, al-Waqi’ah ayat 85).
b.      Lembaga pendidikan ang dimilki umat Islam nelum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah Allah di atas bumi”.
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik uamt Islam di Indonesia, sekaligus merupakan sistem pendidikan yang khas di Indonesia. Dilihat dari sejarahnya sistem pesantren ini sebenarnya sudah berkembang sejak zaman Hindu-Budha. Sistem ini sejak zaman itu dikenal dengan nama ‘Ashram’ yang di dalamnya para santri (berubah menjadi santri) tinggal bersama sama dengan ‘Guru’ atau ‘Resi’. Sistem ini terus berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan umat Islam di Indonesia telah banyak memberikan sumbangannya bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga penjajahan Belanda. Lewat lembaga pendidikan ini telah diperoleh kader kader umat bangsa , di mana pondok pesantren ini tercatat sebagai lembaga yang mempelopori menanamkan semangat nasionalisme dan patriot bangsa kepada para santrinya.
Namun dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti, maka akan terasa bahwa muatan isi yang adadalam sistem pondok pesantren saat ini kurang memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam sistem pondok pesantren saat itu hanya mengajarkan ‘mata pelajaran agama’ dalam arti sempit, yaitu terbatas pada bidang fiqih Agama sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat at Taubah ayat 122 yang meliputi mata pelajaran mata pelajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadis, tasawuf /akhlak, aqaid, ilmu mantiq(logika) dan Ilmu Falaq. Sedang mata pelajaran yang sangkut paut dengan urusan keduniaan (muamalah duniawiyah) yang sering disebut ilmu pengetahuan umum semacam sejarah, ilmu bumi, biologi, fisika, kimia dan sebagainya belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantren. Padahal justru hanya lewat ilmu pengetahuan ini seseorang akan mampu melaksanakan tugas tugas keduniaan, salah satu dari dua tugas yang diemban oleh “Khalifah Allah”
Sesungguhnya, bahwa lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader penerus cita cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai “Khalifah Allah” di muka bumi, yang tugas utamanya adalah mengupayakan terjadinya perdamaian sesama umat manusia, serta mengupayakan terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup umat manusia. Mengingat fungsi pendiikan Islam seperti ini maka apa yang ada dalam lembaga lembaga pendidikan pondok pesantren pada saat itu dirasakan oleh K.H. Ahmad Dahlan masih ada satu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali kepada para santri ilmu pengetahuan agama semata mata, maka untuk penyempurnaannyamereka harus diberikan juga ilmu ilmu pengetahuan umum sehingga dengan demikian akan lahirnya dari lembaga pendidikanini manusia yang “taqwa kepada Allah”, “Cerdas lagi Terampil”, yang dalam terminologi Al-Quran disebut sebagai “Ulul Albab”. (al-Mujadilah : 11, dan ali Imran : 191)
Faktor Obyektif yang bersifat eksternal
a.       Semakin meningkatnya gerakan kristenisasi ditengah tengah masyarakat Indonesia
Sebagaimana halnya bangsa bangsa penjajah Eropa lainnya, bangsa Belanda pun ketika masuk ke negeri Indonesia juga mengibarkan panji panji “Tiga G”, yaitu “Glory”, “Gold”, “Gospel”. Ketiga G ini sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri jajahannya. Yang pertama motif politik (Glory = menang); sesuatu motif untuk penjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai daerah kekuasaanya. Kedua motif ekonomi (emas, kekayaan); suatu motif untuk mengeksploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Dan ketiga motif untuk menyebarluaskan ajaran kristiani kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau yang bukan menjadi Kristen. Orang Spanyol dan Portugis memang sengaja datang ke pelosok dunia ini antara lain memerangi Islam dan menggantikannyadengan agama Kristen. Khusus dalam menggambarkan kedatangan bangsa Belanda ke negeri Indonesia yang tidak lepas dari ketiga motif di atas, khususnya motif mengkristenkan penduduk negeri B.G. Schweitz menyatakan bahwa “... oleh karena penduduk pribumi, yang mengenal eratnya hubungan agama dengan pemerintahan setelah masuk kristen akan menjadi warga warga loyal lahir batin bagi kompeni, sebutan yang diberikan kepada administrasi Belanda itu".
Dalam pelaksanaan mewujudkan ketiga motif tersebut, Pemerintah Hindia Belanda menggarap penduduk bumi putra lewat dua langkah besar, yaitu : pertama apa yang disebut dengan program ‘Asosiasi’ dan kedua adalah program ‘kristenisasi’. Program asosiasi adalah program pembudayaan, dalam bentuk mengembangkan budaya barat sedemikian rupa hingga orang Indonesia mau menerima kebuyaan baratsebagai kebuyaan mereka walaupun tanpa mengesampingkan budaya sendiri. Program ini disebut juga dengan program Westernisasi. Sedang yang dimaksud dengan Kristenisasi yaitu program yang ditujukan untuk mengubah agama penduduk, yang Islam ataupun yang bukan bukan Islam menjadi Kristen. Pada abad ke 19, banyak orang Belanda, baik di negerinya sendiri, maupun di Hindia Belanda sangat berharap untuk menghilangkan pengaruh Islam denan proses Kristenisasisecara cepat atas sebagian besar orang Indonesia. Tegasnya politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama kristen di Indonesia. Dengan program yang kedua ini akan dapat nilai ganda, yaitu disamping bernilai keagamaan dalam arti telah menyelamatkan “domba domba yang hilang”, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda), setelah penduduk bumi putera masuk Kristen akan menjadi warga loyal atau setia lahir dan  batin kepada pemeritah. Menteri jajahan, J.T.Cremer mengatakan pada tahun 1898 bahwa kegiatan “Misi Kristen hendaklah dimajukan dengan kuat, oleh sebab kegiatan ini membawa civilisasi, kemakmuran, ketenangan dan ketertiban”. Pelaksanaan program Kristiani seperti di atas semakin meningkat pada waktu pada waktu pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang bernama A.W.F Idenburg (1909-1916) dengan melancarkan program yang lebih populer dengan sebutan “Kristening Politik”. Konstitusi Belanda memperkenankan misi misi Kristen, baik Roma katolik maupun Protestan untuk beroperasi di Indonesia, dan pekerjaan misi di daerah koloni dibantu oleh dana dana negara. Dengan adanya program ini sejarah mencatat setelah tahun 1909 kelompok kelompok zending kristen sangat cepat memperluas kegiatan mereka di daerah kepulauan Indonesia.
b.      Penetrasi Bangsa bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia
Kedatangan bangsa bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia, Khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap pengaruh Islam di Indonesia. Lewat pendidikan model barat yang mereka kembangkan, dengan ciri cirinya yang menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elitis, diskriminatik, serta sama sekali tidak memperhatikan dasar moral keagamaan, maka lahirlah suatu generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berpikir mereka. Bahkan lebih jauh dari pada itu, H.J Benda menyatakan bahwa dalam analisanya terakhir maka pendidikan barat adalah alat yang pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Apa yang diharapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti di atas tanda tandanya segera terlihat, antara lain seperti munculnya sikap acuh tak acuh terhadap agama Islam, kalau tidak malah melecehkan. Mereka mengangap selama mereka masih menampakkan keislamannya, mereka rasanya belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan dan sebagainya. Dan lebih dari itu semua dalam menyikapi kehidupan umat islam di Indonesia, Belanda benar benar mengikuti petunjuk dari Snouck Horgronje. Ia merekomendasi kepada Hindia Belanda bahwa sebenarnya Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu Islam politik dan Islam religius. Terhadap Islam religius dia menyarankan agar pemerintah bersikap toleran. Bahkan sikap seperti itu dinyatakan sebagai conditio sine qua non, syarat yang tidak boleh tidak harus diwujudkan demi menjaga ketenangan dan stabilitas, seperti memberikan toleransi kepada umat Islam untuk mengerjakan ibadah sembahyang, menunaikan ibadah haji dan sebagainya. Sementara terhadap Islam politik pemerintah tidak menganjurkan toleransi sama sekali, bahkan sebaliknya harus ditekan semaksimal mungkin. Tegasnya bagi pemerintah Hindia Belanda dalam menyikapi umat Islam di Indonesia harus membedakan islam ke dalam dua kategori, musuh Belanda bukan Islam sebagai agama, akan teetapi yang menjadi musuh Belanda adalah Islam sebagai doktrin politik.
c.       Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam   
Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan sesunguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Profesor Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayid Jamaludin al-Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla dan sebagainya. Terutama sekali pengaruh tersebut berasal dari Muhammad Abduh lewat tafsirnya yang terkenal, yaitu Al-Manar  suntingan dari Rasyid Ridla serta majalah Al-Urwatul Wustqa
Dalam hal K.H. Ahmad Dahlan de3ngan Muhammadiyahnya terkena pengaruh dari ide ide Muhammad Abduh, Azyumardi Azra menulis bahwa sesungguhnya pengaruh tersebut bukannya dari keseluruhan ide idenya. Sebab dalam masalah teologi(aqidah) Muhammadiyah justru lebih dekatkepada sistem teologi Asy’ariyah dari pada teologinya Abduh yang lebih dekat pada sistem teologi Mu’tazilah. DR. Arbiyah Lubis dalam disertasinya membuktikan, bahwa sepanjang persoalan teologi, Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali. Lebih jauh, setelah membandingkan Kalam Abduh  dan Muhammadiyah, Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di antara keduanya. Jika teologi Abduh bersifat rasional – dan karena itu lebih dekat kepadaa sistem teologi Mu’tazilah, sebaliknya teologi Muhammadiyah adalah teologi “tradisional” – dan oleh sebab itu ia lebih dekat kepada sistem teologi Asy’ariyah
Lewat telaah K.H. Ahmad Dahlan terhadap berbagai karya para tokoh pembaharu di atas serta kitab kitab lainnya yang seluruhnya menghembuskan angin segar untuk memunirkan ajaran Islam dari berbagai ajaran sesat dengan kembali pada  Al Quran dan sunah Rasul beliau mendapatkan inspirasi yang kuat untuk membangun sebuah pergerakan Islam yang berwibawa, teratur, tertib, dan penuh disiplin guna dijadikan sarana untuk dakwah Islam amar makruf nahi munkar ditengah tengah masyarakat Indonesia.
Dari sekian faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, Prof. Mukti Ali dalam bukunya “Interpretasi Amalan Muhammadiyah” menyimpulkan adanya empat faktor yang cukup menonjol, yaitu :
1)      Ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan Agama Islam di Indonesia
2)      Ketidakefisiennya lembaga lembaga pendidikan agama Islam
3)      Aktifitas misi misi Khatolik dan Protestan
4)      Sikap acuh tak acuh, malah kadang kadang sikap merendahkan dari golongan intelegensia terhadap Islam





BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan . Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan- amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini menjadi Muktamar 5 tahunan.
Peristiwa penting dalam sejarah Muhammadiyah antara lain :
Tahun 1868 – 1910

1868
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.
Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian membuat barang kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing
Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut. Belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga pelajaran lainnya didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempu­yangan dan K.H. Muhammad Nur.
Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari madzhab Syafii dalam ilmu fiqh, dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.

1883-88
Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama. Di tanah suci ia belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.

1888
Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk membeli buku.

1889
Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.

1896
Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.

1898
Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman. Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.

1900-1910
·    Panitia Zakat pertama.
·    Panitia kurban pertama.
·    Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal.
·    Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.

1903
Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Ia belajar fiqh kepada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Babusyel. Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘I, ilmu falaq pada Kyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat pada Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.


1909
Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta

1910
Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab.
Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis.
Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m, di ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali.
Tahun 1911 - 1920

1 Desember 1911
Sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu.

1912
Mas Mansur berada di Mesir. Belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya.
18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330H Persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Sembilan orang pengurus inti yang pertama adalah Ketua: Ahmad Dahlan, Sekretaris: Abdullah Sirat, Anggota: Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.
20 Desember, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awamu alal birri Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

1913
·    Pendirian sekolah di Karangkajen.
·    Tiga orang wanita dari Kauman masuk sekolah umum Neutraal Meisjes  School di Ngupasan.
·    Algemeene Vergadering II di Yogyakarta.

1914
Dibentuk organisasi remaja putri Sopo Tresno. Kegiatannya menyantuni anak yatim piatu wanita untuk membantu kelompok pemuda yang bergerak dalam bidang pertolongan kesengsaraan umum.

1914
·    Diterbitkan Sworo Muhammadijah dalam bahasa Jawa dan Melayu memakai huruf Jawa dan latin.
·    Algemeene Vergadering III di Yogyakarta.

1915
·    Pendirian sekolah di Lempuyangan.
·    Algemeene Vergadering IV di Yogyakarta.

1916
·         Pendirian sekolah di Pasar Gede (Kotagede).
·         Menerbitkan Suwara Muhammadiyah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar.
·         Algemeene Vergadering V di Yogyakarta.

1917
·         19 Mei/27 Rajab 1335. Berdirinya Aisyiyah sebagai perluasan aktivitas para wanita Muhammadiyah.
·         Sampai tahun ini tercatat ada 4 buah sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu agama Islam dan ilmu umum.
·         Algemeene Vergadering VI di Yogyakarta.

1916-1920
K.H. A. Dahlan sering mengadakan tabligh di Surabaya yaitu di Gang Peneleh. Dalam pengajian itu H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno dan Roeslan Abdoelgani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam dari Kyai H. A. Dahlan

19…
·         Pendirian sekolah di Suronatan

1918
·         Pendirian sekolah calon guru agama bagi sekolah Ongko Loro (Volkschool). Sekolah ini bernama Al-Qismul Arqa, pelaksanaannya di rumah Ahmad Dahlan.
·         Algemeene Vergadering VII di Yogyakarta.

1919
·         Jasa Fakhruddin dalam mengembangkan SI sungguh besar. Berkat jasa-jasanya itu, dia diangkat sebagai Commisaris SI.

1919
·         Pendirian Hoogeschool Muhammadijah (sekolah lanjutan).
·          Somodiirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri Standard School Muhammadiyah. Perkum­pulan itu diberi nama Siswa Praja (SP). Lima bulan kemudian diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan yaitu Siswa Praja Wanita yang ketuanya Siti Wasilah. Siswa Praja Wanita kemudian menjadi cikal bakal Nasyiatul Aisyiyah (NA). Sebelum menjadi NA di tahun 1931, Siswa Praja Wanita adalah bagian dari kegiatan Aisyiyah.
·         Algemeene Vergadering VIII di Yogyakarta.

1920
·         Dibentuk gerakan kepanduan yaitu Padvinders Muhammadiyah. Kemudian atas usul Hajid nama pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon.
·         Fakhruddin diangkat sebagai Penningmeester (Bendahara) SI. Jabatan itu dipegangnya hingga tahun 1923.
·         Sekolah yang berada di Kauman tidak mampu lagi menampung murid sehingga sebagian murid dipindahkan ke Suronatan. Sekolah di Kauman dipergunakan untuk murid perempuan dan dikenal sebagai Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah.
·         Pembentukan organisasi Siswa Praja sebagai wadah kegiatan ekstra kurikuler bagi seluruh siswa sekolah Muhammadiyah. Pembentukan ini atas inisatif Sumodirdjo, kepala sekolah Muhammadiyah Suronatan.
·         Algemeene Vergadering IX Muhammadiyah di Yogyakarta.
·         Pengadaan kelas khusus di Sekolah Angka 2 Suronatan. Kelas khusus ini dimaksudkan untuk siswa Sekolah Angka 2 pemerintah ataupun partikelir yang belum menerima pelajaran agama Islam di sekolah asalnya.
·         Terbentuknya kelompok-kelompok pengajian remaja putri dan putra maupun orang dewasa di sekitar Kauman dan tempat lain dalam Residensi Yogyakarta.
·         Pengadaan kursus agama Islam secara cuma-cuma di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah Kauman.
·         Penggunaan metode hisab berdasarkan data astronomis untuk menentukan 1 Syawal. Metode ini meninggalkan cara sebelumnya yaitu metode aboge dan melihat hilal.
·         Pendirian Musholla Aisyiyah untuk kegiatan kaum wanita, khususnya di sekitar Kauman, untuk melakukan salat berjamaah dan membicarakan masalah keagamaan.
·         Pencetakan dan penerbitan selebaran tentang agama Islam untuk disebarkan secara cuma-cuma. Sedang penerbitan buku tentang agama Islam masih harus dibeli.
Tahun 1921 - 1930

1921
·         Terbentuk cabang baru di luar residensi Yogyakarta yaitu di Blora (27 November), Surabaya (27 November), dan Kepanjen (21 Desember).
·         7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendi­rikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda (2 September 1921).
·         Pendirian sekolah guru Muhammadiyah yang sederajad dengan Kweekschool milik pemerintah. Nama sekolah itu Pondok Muhammadiyah.
·         Sejak tahun ini, jasa besar Fakhruddin adalah keberhasilannya dalam merintis Majalah Soeara Moehammadijah untuk dijadikan sebagai majalah resminya Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah naungan Bagian Pustaka. Selain itu, dia juga berjasa dalam merintis pendirian Percetakan Persatuan sebagai percetakan milik Muham­madiyah. Melalui percetakan itulah kemudian publikasi gerakan Muhammadiyah dalam bentuk majalah, berita tahunan, almanak dan buku-buku diterbitkan dan disebarluaskan ke daerah-daerah.
·         Fakhruddin pergi ke tanah suci Makkah. Ada dua hal yang dikerjakannya, yaitu melaksanakan ibadah haji dan menjalankan tugas yang diberikan Hoofdbesttur Muhammadiyah untuk menyelidiki sistem perjalanan jamaah haji Indonesia guna diperbaiki. Missi itu dijalankan karena kondisi sistem perjalanan jamaah haji Indonesia yang berlaku saat itu sangat jelek dan merugikan umat Islam Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia berkesempatan menghadap Raja Syarif Husein untuk membicarakan perbaikan sistem perjalanan jamaah haji Indonesia dan sekaligus memper­kenalkan gerakan Muhammadiyah. Bahkan ia juga berperan besar dalam perintisan pembentukan Persaoedaraan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI).
·         Algemeene Vergadering X di Yogyakarta.

1922
·         12 April. Dibentuk Bagian Aisyiyah atau Muhammadiyah Istri yang bertanggung jawab dalam kegiatan khusus kaum wanita.
·         Jaavergadering XI Muhammadiyah di Yogyakarta.
·         Pada bulan Oktober, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Surkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya, “Muhammadiyah berusaha/bercita-cita mengang­kat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
·         Kegelisahan pikiran Sutan Mansur yang selalu menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu, akhirnya ia tertarik untuk bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah (1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam di Pekalongan bersama para pedagang dari Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah. Ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengetahui dan menguasai seluk-beluk hukum Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkannya. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban seusai menunaikan Shalat Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
·         Pendirian sekolah dasar yaitu Sekolah Angka 1 dengan nama HIS Met de Qur’an.
·         Nama besar Fakhruddin ternyata tercatat di berbagai peristiwa besar di negeri ini. Ketika diadakan Konggres al-Islam Hindia I di Cirebon tahun 1922, dia diangkat menjadi Commite Pengusaha Pendiri Majlis Al-Islam Hindia.


1923
·         23 Februari /7 Rajab 1340 K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia.
·         Perkoempoelan Tahoenan XII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·         Kweekschool Muhammadijah dipecah menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat.
·         Perkoempoelan Tahoenan (kemudian menjadi Congres) Muhammadiyah di Jogjakarta memilih K.H. Ibrahim sebagai Ketua Pengurus Besar. Beliau menjabat sampai Congress ke-23 di Jogjakarta tahun 1934. K.H. Ibrahim berhasil mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
·         Pendirian rumah sakit pertama di Yogyakarta kemudian diikuti pendirian rumah sakit di Bandung, Sepanjang, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Semarang, dan Banjarmasin.

1924
·         K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin.
·         Berdirinya Panti Asuhan pertama.
·         Kongres XIII Muhammadiyah di Yogyakarta.

1925
·         K.H. Ibrahim juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muham­madiyah juga secara gencar disebar­luaskan ke luar Jawa
·         Percetakan Persatuan mulai dapat beroperasi.
·         Rapat Besar Tahunan XIV di Yogyakarta.
·         Berdirinya rumah miskin pertama.
·         Fakhruddin menggerakkan pawai ummat Islam untuk memprotes kebijakan residen Yogyakarta yang terlalu menganakemaskan misi dan zending Kristen. Efeknya, ummat Islam sadar akan jatidirinya sebagai golongan yang mayoritas.

1925
·         Terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Ranah Minang pada akhir 1925. Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di Minangkabau.

1926
·         Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,
·         Haji Soedjak membentuk Bagian Penolong Haji.
·         Berangkatnya Mas Mansur dan H.O.S. Tjokro­aminoto ke Arab sebagai utusan Hindia
·         Kiprah politik Fakhruddin melalui SI hanya dapat bertahan sampai tahun 1926, karena adanya kemelut di kalangan anggota SI yang kemudian mengeluarkan peraturan disiplin partai, yaitu pelarangan rangkap keanggotaan bagi anggota SI. Berkaitan dengan peraturan tersebut, Fakhruddin memilih untuk tetap di Muhammadiyah. Fakhruddin juga dikenal sebagai seorang demonstran yang cukup terkenal. Bersama-sama dengan Suryopranoto (yang dikenal dengan sebutan stakings koning atau raja pemogokan), dia pernah menggerakkan demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak, kehormatan, dan upah yang wajar. Oleh karenanya, ia pernah dituntut di pengadilan dengan dikenai denda 300 Gulden.
·         Fakhruddin juga dipilih oleh Konggres al-Islam Hindia dan Commite Chilafat sebagai utusan untuk datang ke Konggres Chilafat di Mesir. Oleh karena Konggres Chilafat tersebut ditunda, dia tidak jadi berangkat.
·         Terbentuknya Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah (GKPM) di Malang dan Garut.
·         Antara 1926-1929 Muhammadiyah mulai dikenal luas di luar pulau Jawa.

1927
·         Sutan Mansur bersama Fakhruddin melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh.
·         Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan

1928
·         Fakhruddin meninggal dalam usia muda, sekitar 39 tahun, tanggal 28 Februari 1929.
·         Muhammadiyah mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin, Mu‘allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
·         Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 di Jogjakarta yaitu pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau.
·         Sutan Mansur berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang maghrib.

1929
·         Kongres Muhammadiyah ke-18 di Surakarta.
·         Sutan Mansur berhasil mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai.

1930
·         Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (14-26 Maret 1930). Kongres ini memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil HB Muham­madiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
·         Berdirinya Muhammadiyah cabang Merauke.
Tahun 1931 - 1940
 1931
·         Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah sampai 1944. Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang.
·         Kongres Muhammadiyah ke-20 di Jogjakarta. Dalam kongres ini diputuskan Siswa Praja Wanita menjadi Nasyiatul Aisyiyah.

1932
·         Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil
·         2 Mei/26 Dzulhijjah 1350. Berdirinya Pemuda Muhammadiyah.
·         Sampai tahun ini Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

1932
·         Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

1933
·         Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.

1934
·         Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta memilih K.H. Hisyam sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

1935
·         Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin memilih kembali K.H. Hisyam.

1936
·         Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) K.H. Hisyam masih dipilih.

1937
·         Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah hasil keputusan Congres ke-26 di Jogjakarta (sampai tahun 1943).
·         Mas Mansur banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaruannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat.
·         Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab.

1937
·         Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
·         Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryosanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empar serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
·         Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
·         K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946.
·         K.H. Faqih Usman aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).

1938
·         Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu, Sutan Mansur menjadi penasehat Agama Islam bagi Bung Karno.
·         Bung Karno menjadi guru sekolah rendah Muhammadiyah di Bengkulu (Adams, 1966;193).

1939
·         Kongres Muhammadiyah ke-28 di Medan.
·         Penolong Kesengsaraan Oemat menjadi bagian dari Aisyiyah.

Tahun 1941 - 1950

1941
·         Pertemuan antar cabang se-Jawa sebagai upaya penjembatanan berlangsungnya kongres darurat tahun 1946 di Yogyakarta.

1942
·         Congres ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto batal.

1943
·         Jepang memberikan status hukum pada Muhammadiyah serta cabang-cabangnya di Jawa.

1944
·         Pertemuan cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa memilih Ki Bagus Hadikusumo sebagai ketua.
·         Ki Bagus termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk melembagakan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse).

1944
·         Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931
·         Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.
·         Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Ki Bagus Hadikusumo sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

1945
·         Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo menjadi anggota PPKI.
·         K.H. Faqih Usman menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
·         K.H. Faqih Usman juga ikut andil dalam pendirian Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta.
·         Sudirman, seorang dari kalangan rakyat biasa yang pernah menjadi kepala pasukan gerakan kepanduan Muhammadiyah yaitu Hizbul Wathan (HW), diangkat menjadi Panglima Besar angkatan bersenjata RI yang baru saja merdeka.

1946
·         Kongres darurat Muhammadiyah (perundingan silaturrahmi cabang/ranting seluruh Jawa dan Madura).

1947
·         Pembentukan Angkatan Perang Sabil (APS) bermarkas di Mesjid Taqwa, Kampung Suronatan. Sebagai Ketua adalah Hadjid, , Wakil Ketua: A. Badawi, dan penasehat: Ki Bagus Hadikusumo.
·         1947-1949 oleh wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Mansur diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit tinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.

1950
·         Sutan Mansur diminta menjadi Penasehat TNI AD, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akan tetapi, permintaan itu ia tolak karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.
·         Majelis Aisyiyah diganti menjadi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
·         21-26 Desember Kongres XXXI/Muktamar I berlangsung di kota kelahiran Muhammadiyah, Yogyakarta. Muktamar ini mendapat sambutan luar biasa dari tokoh-tokoh Muhammadiyah karena selama 10 tahun mereka hampir tidak pernah bertemu di forum resmi yang bersifat nasional. Hadir dalam Muktamar itu 83 cabang dan 97 ranting. Beberapa keputusan penting dari Muktamar ini adalah:
·         Mendorong dan bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki kerusakan akhlak.
·         Bekerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kesehatan rakyat.
·         Membentuk kapal haji Muhammadiyah.
·         Menyediakan studiefonds untuk membiayai para pelajar yang sekolah di luar negeri.
·         Mendirikan universitas Muhammadiyah.


1950
·         Mengajukan usul kepada Badan Kongres Muslimin Indonesia dan pemerintah supaya mengadakan kongres Umat Islam se dunia dan persyarikatan blok-blok Islam.
·         Mendesak pemerintah Indonesia supaya mengambil harta wakaf yang dirampas Jepang yang masih dipakai oleh pemerintah.
·         Menghormati organisasi lain yang bukan Islam selama tidak merugikan dan bersedia bekerjasama.
·         Menghormati dan bekerja sama dengan organisasi Islam, saling mendekati antara organisasi Islam yang satu dengan lainnya agar tidak terjadi salah paham yang dapat merugikan perjuangan pokok Islam.
·         Anggota Muhammadiyah yang menjhadi anggota partai politik yang bukan Islam supaya dibiarkan jika menguntungkan cita-cita Islam dan Muham­madiyah seta diuasahakan saling pengertian agar tetap membawakan aspirasi Muham­madiyah. Apabila merugikan cita-cita Islam, anggota tersebut akan ditarik.
·         Muhammadiyah, baik sebagai organisasi maupun perorangan diperkenankan menjadi anggota DPR.
Tahun 1951 – 1960

1951
Agustus Sidang Tanwir I mengeluarkan reolusi yang intinya meminta Pemerintah Indonesia mengembalikan calon jemaah haji yang gagal berangkat dan masih berada di Jakarta, ketempat maisng-masing dengan biaya ditanggung oleh pemerintah dan mengganti kerugian yang dialami oleh calon haji, seta meminta pemerintah membentuk suatu komisi guna menyelidiki segala sesuatu yang tidak beres dalam kasus itu. Sidang Tanwir itu juga berhasil merumuskan konsepsi tentang Majelis Ekonomi.

1951
Selain itu dibentuk panitia kecil untuk merancang UU Perkawinan. Melalui Masyumi Muhammadiyah meminta supaya memperjuangkan agar UU Perkawinan itu tidak diajukan ke DPR sebelum adanya pemilihan umum atau bahklan kalau mungkin digagalkan. Sikap Muhammadiyah seperti itu menimbulkan bermacam-macam reaksi balik.
10 Desember. Dibangun kembali Madrasah Mual­limin Muhammadiyah. Gedung Mu’allimin sebelum hancur pada masa clash II pernah digunakan sebagai markas gerilya melawan Belanda.

1952
K.H. Faqih Usman dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo (3 April l952-1 Agustus 1953). Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU.
Sutan Mansur diminta Presiden Soekarno untuk menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukit tinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya . Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
Sutan Mansur diangkat menjadi wakil ketua Syura Masyumi Pusat.

1953
·         Telah dibentuk dan dipulihkan kembali 322 cabang dan, 1.612 ranting dengan jumlah anggota 69.554.
·         Muktamar XXXII di Purwokerto. Untuk pertama kali, timbang terima jabatan dilaksanakan secara tertulis sebagai bentuk kesadaran pentingnya tertib organisasi. Sebelumnya cukup secara lisan.
·         7 Juli 1953 Surat dari Presiden Sukarno yang isinya antara lain pengakuannya akan betapa besar sumbangan Muhammadiyah bagi kehidupan rohani bangsa, kenegaraan, dan masyarakat Indonesia.

1953
Beliau pun mengakui sudah cukup lama mengenal Muhammadiyah dari dalam dan mendoalan Muhammadiyah senantiasa mendapat taufik dan hidayah agar tetap dapat menyumbangkan tenaga dan fikirannya bagi pembangunan negara.
Majelis Hikmah dibentuk guna memperhatikan dan mempelajari hal ihwal Muhammadiyah yang berkaitan soal politik. Tugas utamanya menghimpun keseimbangan politik mengenai agama dan umat Islam pada umumnya serta Muham­madiyah sendiri. Selain itu digariskan program pendidikan politik bagi warga Muhammadiyah.

1954
11-14 April. Sidang Majelis Tanwir mengambil keputusan bahwa dasar dan pemilihan umum adalah kemenagan Islam, keutuhan Masyumi, kemaslahatan Muhammadiyah, menyetujui perinsip-prisnsip rencana peraturan pencalonan anggota DPR dan konstituante yang disusun oleh DPP Masyumi dengan amandemen-amandemen yang diserahkan kepada PB Muhammadiyah.
Pengaruh Muhammadiyah sampai di Penang

1955
Sutan Mansur terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi sejak Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh Soekarno.

1956
Mukatamar XXXIII Muhammadiyah di Palembang berhasil menelurkan khittah Palembang.

1957
24-26 Agustus. Sidang Majelis Tanwir Muham­madiyah di Yogyakarta mengambil keputusan: pertama, menugaskan untuk menggerakkan aparatnya dengan cara-cara yang sesuai bidangnya masing-masing dengan berpedoman pada khittah Muhammadiyah sera mengindahkan saran dan sambutan-sambutan yang diberikan dalam sidang Tanwir; kedua, menugasi HAMKA dan Bustami Ibrahim untuk menulis risalah khusus guna menghadapi paham ateis; ketiga, mengajak para ulama, pemimpin Islam dan cendekiawan muslim agar memberikan pendapat mereka tentang cara-cara memelihara umat mengatasi bahaya ateisme.
Terbentuknya Ikatan Pelajar Sekolah Muham­madiyah (IKPSM) di Solo.

1958
Pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Padang, Sutan Mansur berada di tengah-tengah mereka karena didasari oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno.
Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, K.H. Faqih Usman juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, bersama Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
Kahar Muzakkar, putra Sulawesi Selatan yang pernah dididik di lingkungan Muhammadiyah melakukan resistensi terhadap pemerintah pusat RI dengan membentuk gerakan DI/TII.
Pengaruh Muhammadiyah sampai Singapura.

1959
Fakih Usman menerbitkan majalah Panji Masya­rakat (Panjimas) bersama-sama Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.

1959
18-23 November. Muktamar XXXIV Muhammadiyah di Yogyakarta memilih M. Junus Anies sebagai Ketua Pimpinan Pusat periode 1959-1962. Muktamar ini menetapkan langkah ke depan tahun 1959-1962 “yang meliputi bidang kepemimpinan, dakwah, pendidikan dan pengajaran, kemasya­rakatan, wakaf, keputrian, kepemudaan, pereko­nomian, keagamaan, taman pustaka, dan bidang-bidang lain yang dipandang perlu”.

1960   
24-28 Juli. Muktamar II Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta memutuskan terbentuknya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi resmi pelajar Muhammadiyah.
Tahun 1961 - 1970

1961
Atas jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membang­kitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, Pemerintah RI menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (SK Presiden no. 657 tahun 1961). Dasar-dasar penetapan itu ialah: 1. KHA. Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; 2. Organisasi Muhammadiyah yang didiri­kannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam; 3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; 4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

1961
·         16 Juli. Pembentukan Ikatan Pelajar Muham­madiyah (IPM).
·         25-27 November. Sidang Tanwir di Yogyakarta menerima rencana Garis Perjuangan Muham­madiyah dari Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, intinya menghendaki agar Muhammadiyah memperluas bidang perjuangan­nya, tidak hanya menitik­beratkan dalam bidang sosial, tetapi juga meliputi bidang-bidang lain yang menjadi alat untuk memperjuangkan tegaknya Agama Islam.

1962
21-25 Muktamar XXXV Muhammadiyah di Jakarta. Terpilih sebagai Ketua PP adalah Ahmad Badawi. Pada resepsi penutupan turut memberi sambutan adalah Presiden Sukarno sendiri dengan sambutan berjudul “Makin Lama Makin Cinta” dan Dr. Roeslan Abdoelgani dengan sambutan berjudul “Palu Godam terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, Muhammadiyah sebagai Gelombang Pemukul Kembali terhadap Kolonialisme dan Imperialisme”.
Muktamar juga melahirkan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Kerja digarap oleh suatu tim dipimpin oleh KH Faqih Usman.
Diadakan Kursus Kader Pimpinan Muhammadiyah seluruh Indonesia utnuk menggairahkan kembali gerak perjuangan Muhammadiyah.
Ada perkembangan baru dalam penyebarluasan pengaruh Muhammadiyah. Surat kabar Utusan Melayu mengabarkan bahwa di Kuala Lumpur telah berdiri pusat Pergerakan Muhammadiyah yang berujuan sebagai pusat penyiaran dan pendidikan Islam seTanah Melayu. Meskipun secara organisatoris eksistensinya berada di luar persyarikatan tetapi anggaran dasarnya hampir sama dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah.

1962
Selama masa kepemimpinan Ahmad Badawi di perkenalkan metode KOKAM dalam administrasi. Tercatat jumlah anggota Muhammadiyah sebanyak 185.119, ranting 2.300, cabang 712, sedangkan daerah-daerah mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara tercatat 36 perwakilan daerah. Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI mulai terlihat pengaruh Muhammadiyah di Fakfak, Kotabaru, Sorong Besar, Sorong Raja Empat, dan Manokwari yang dimotori oleh Ibrahim Bauw Radja Rumbeti serta pejabat daerah dan pegawai negeri yang menjadi anggota Muhammadiyah.
Dikeluarkan dokumen “Kebijaksanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965 dan 1965-1968” yang memberi gambaran tentang interaksi Muhammadiyah di dalam percaturan politik nasional. Kebijakan tersebut lebih merupakan kebijakan politik Muhammadiyah dalam menetap­kan kebijakan untuk beradaptasi dan berinteraksi terhadap persoalan-persoalan politik yang timbul.

1963
·         Nasyiatul ‘Aisyiyah diberi status otonom lepas dari ‘Aisyiyah.
·         Ahmad Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama.

1964
Berbagai gerakan dan aksi perjuangan yang dilakukan K.H. Fakhruddin adalah dalam rangka memperbaiki nasib dan kondisi umat serta bangsa Indonesia dari lumpur kebodohan, kehinaan dan ketertindasan di tangan penjajahan kolonial Belanda. Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan, Pemerintah RI memberinya penghargaan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI no. 162/1964.
·         14 Maret/29 Syawal 1384. Berdirinya Ikatan Maha­siswa Muhammadiyah (IMM)(Fathoni, 101).

1964
Penangkapan dan penahanan HAMKA hingga 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Dipenjara beliau menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya terbesarnya.

1965
·         Munas I Nasyiatul ‘Aisyiyah. Hadir di sana perwakilan dari 33 daerah dan 166 cabang.
·         Muktamar XXXVI Muhammadiyah di Bandung.
·         16 Agustus, Badan Koordinasi Amal; Muslimin terbentuk. Muhammadiyah merupakan nsalah satu organisasi pendukung utama di antara 16 organisasi yang tergabung dalam badan itu.

1966
Sukarno mengatakan dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams, “Yang senantiasa menjadi keinginan­ku ialah agar peti matiku diselubungi dengan panji Islam Muhammadiyah”
15 Agustus, Syukuran pembebasan tahanan politik Islam di Mesjid Al Azhar. Acara dipimpin Prof. Dr. Hamka. Sekeluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

1968
·         Muktamar XXXVII Muhammadiyah di Yogyakarta.
·         Ahmad Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
·         Faqih Usman bersama Hasan Basri (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia)dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru (dikenal dengan Nota KH. Faqih Usman), isinya permintaan agar Pemerintah Orde Baru merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang
Tahun 1971 - 2009

1971
·         Muktamar XXXVIII Muhammadiyah di Ujung Pandang.

1974
·         Muktamar XXXIX Muhammadiyah di Padang.

1978
·         Muktamar XL Muhammadiyah di Surabaya.

1985
·         Muktamar XLI Muhammadiyah di Surakarta.

1989
K.H. A.R. Fakhruddin menyampaikan surat kepada Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya di Indonesia. Surat itu adalah kritikan yang disam­paikannya secara halus dan sejuk. Dalam surat itu, ia mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Namun, ada hal yang mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Pak AR mengungkapkan bahwa agama harus disebar­luaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif.

1990
Muktamar XLII Muhammadiyah di Yogyakarta. Suksesi keperesidenan RI menjadi agenda di Muktamar Yogyakarta.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran Dasar pertama sampai ke-14, istilah yang digunakan -istilah mana semakna dengan istilah misi- adalah istilah maksud, kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima, yang menggunakan istilah hajat. Istilah misi kita jumpai pada tulisan para tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang Misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.

1995
·         Muktamar XLIII Muhammadiyah di Banda Aceh.
·         Terpilihnya Prof DR HM Amien Rais MA sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
·         Wilayah kerja Majelis Tarjih tidak saja di bidang fikih, namun juga pengembangan pemikiran Islam. Karena itu, majelis ini sejak Muktamar Aceh berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI).

1998
·         Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum menggantikan Prof. DR. HM Amien Rais MA yang meletakkan jabatan karena harus memimpin Partai Amanah Nasional, sebagai lanjutan dari amanat reformasi.

2000
·         Muktamar XLIV Muhammadiyah di Jakarta, terpilihnya Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif sebagai Ketua Umum

2002
TANWIR Muhammadiyah di Denpasar, 24-27 Januari, menyepakati perlunya Muhammadiyah menyiapkan kader terbaiknya sebagai pemimpin nasional (Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara)
Sidang Tanwir membahas Khittah Muham­madiyah dalam berbagai persoalan, termasuk rekomendasi Muhammadiyah bagi kemajuan bangsa dan negara. Masalah lainnya, adalah bahasan tentang Bank Persyarikatan, di mana akan diputuskan apakah manajemen perbankan diselenggarakan secara syariah atau secara konfesional. 

2002
Masalah politik nasional dibahas pada Sidang Pleno VII yang dipimpin A. Watik Pratiknya. Tampil di sini, Mendiknas Malik Fadjar, ahli hukum tata negara Prof Dr. Ismail Suny, dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Amien Rais akan berbicara tentang Pencerahan dan Visi Indonesia ke Depan, pada sidang pleno III yang dipimpin Bambang Sudibyo. Sejumlah pembicara tenar lainnya, seperti Nurcholis Madjid, Jakob Oetama, dan Taufik Abdullah juga hadir. Mereka membahas tema “Masalah Nasional dan Agenda Pencerahan bangsa”

2003
Persyarikatan Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir di Makassar 26-29 Juni 2003. Sidang Tanwir kali ini merupakan yang terakhir sebelum pelaksanaan Pemilu 2004.

2005
·         Muktamar Muhammadiyah di Malang
·         Terpilihnya Prof DR Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah
·         Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muham­madiyah Jelang Satu Abad).

2006
PP Muhammadiyah mengeluarkan SK No. 149/2006 tentang Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha, yang antara lain berisi tentang bentuk relasi Muhammadiyah dengan gerakan Islam lain dan juga partai politik. Muhammadiyah berhak dan memiliki keabsahan untuk bebas dari segala campur-tangan, pengaruh, dan kepentingan fihak mana­pun yang dapat mengganggu keutuhan dan kelangsungan gerakan dakwah Muhammadiyah.

2007
 Sidang Tanwir Muhammadiyah25-29 April 2007 di Yogyakarta. Merupakan Sidang Tanwir pertama setelah Muktamar ke-45 Muhammadiyah tanggal 3-8 Juli 2005 di Malang. Tanwir 2007 Yogyakarta mengangkat tema: “Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan Bangsa”. Fokus pembahasan dalam Tanwir diarahkan pada upaya pencerahan, revitalisasi, konsolidasi terhadap tubuh Persyarikatan, sesuai problematika yang dihadapi Persyarikatan selama hampir dua tahun mengoperasionalkan keputusan Muktamar ke-45. Tanwir 2007 juga membahas upaya peningkatan peran kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan, yang harus dilakukan oleh Persyarikatan, sesuai komitmen yang telah dicanangkan dalam “Pernyatan Pikiran Muhammaiyah Jelang Satu Abad”. 
Tanwir 2007 juga menekankan pentingnya Muhammadiyah kembali menggiatkan sektor ekonomi, agar Muhammadiyah kembali diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi. Mengembalikan Muhammadiyah pada masa-masa awal berdirinya, dimana kelompok mayoritas anggotanya merupakan pengusaha. Salah satu poin dari rekomendasi Tanwir ini adalah meminta kepada pemerintah untuk memihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

2009
Sidang Tanwir tahun 2009, di kota Bandar Lampung. Mmerupakan Tanwir kedua pada periode ini, dan Tanwir jelang Muktamar ke-46 di Yogyakarta pertengahan tahun 2010.  Sidang Tanwir 2009 memiliki tujuan antara lain:
Dihasilkannya keputusan untuk meningkatkan peran Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dalam membangun kembali visi dan karakter bangsa, di tengah pergulatan bangsa-bangsa lain yang semakin maju.
            Sidang Tanwir 2009 dilaksanakan menjelang Pemilu 2009 dimana suasana politik Indonesia menghangat.

2009
            Muhammadiyah memberikan rekomendasi terkait Pemilu 2009 antara lain: 1). Mendesak partai politik dan seluruh komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan belaka yang menjurus pada pragmatisme dan menghalalkan segala cara. Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang bertanggungjawab dalam menjalankan amanat rakyat, mengurus negara/pemerintahan dengan benar, menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat kecil, menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan dan etika publik, membangun kepercayaan, serta tidak menggunakan aji mumpung dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya
2). Muhammadiyah menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009, yang:
1. Memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan yang mengutamakan   kepen­tingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan  partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni dan lainnya;
2. Berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara;
3. Mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan good governance termasuk melakukan pembe­rantasan korupsi tanpa pandang bulu;
4. Melepaskan jabatan di partai politik apapun dan berkonsentrasi dalam memimpin bangsa dan negara.


2.2 Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.
1.      Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2.      Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3.      Muhammadiyah adalah gerakan tajdid

A.     Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
B.      Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.

C.      Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
2.3 Keyakinan dan Cita Cita Hidup Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
ü  Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
ü  Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
Ø  'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
Ø  Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
Ø  Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
Ø  Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.





















BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan Muhammadiyah memang merupakan cita-cita luhur yang mungkin tidak akan terwujud secara ideal, tetapi sebagai suatu perjuangan gerakan Islam hal itu harus terus diusahakan sehingga setidak-tidaknya mendekati pencapaian masyarakat yang diidam-idamkan itu. Secara bertahap, terus menerus, dan tersistem sebenarya kehidupan umat Islam khususnya Muhammadiyah dalam rentang satu abad perjalananya telah berusaha menampilkan diri sebagai masyarakat Islam yang diinginkan, sehingga jamaah Muhammadiyah secara keseluruhan sampai batas tertentu merupkan wujud nyata dari masyarakat Islam kendati masih jauh dari ideal sebagaimana idealisme masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tugas utama Muhammadiyah ialah tidak kenal berhenti dalam berusaha untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, baik dalam kehidupan masyarakat Muhammadiyah maupun umat Islam dan masyarakat luas pada umumnya, sehingga pada setiap tahapan perkembangan dicapai kondisi yang semakin lebih baik dalam menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah dalam mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melakukan perjuangan melalui usaha yang diwujudkan ke dalam program, amal usaha, dan kegiatan. Dalam menjalankan usahanya itu Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid senantiasa dilandasai, dijiwai, dan diarahkan oleh ajaran Islam yang antara lain menyuruh mengajak kepada kebaikan, mengajak kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, menunaikan risalah Tuhan, dan berjihad di jalan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar